Minggu, 10 Maret 2013

Hakikat Sifat Malu



Dari Abi Mas'ud al-Badri radhiallâhu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red) adalah: 'jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan' ". (H.R.Bukhari)
Catatan: Mushannif menyebutkan bahwa nash hadits seperti diatas adalah riwayat Bukhari, namun persisnya adalah sebagai berikut (tanpa kata al-Badri radhiallâhu 'anhu dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam seharusnya dalam nash di shahih Bukhari adalah an-Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ):
Takhrij hadits secara global
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ad-Daruquthni, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, ath-Thabrani dan lain-lain.
Makna Hadits secara global
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa ucapan kenabian pertama (Adam 'alaihissalam) yang terus menerus didengar dari generasi ke generasi adalah "bila engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan".

Penjelasan Tambahan

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya diantara ucapan kenabian pertama (Adam 'alaihissalam ) yang didapat oleh manusia (dari generasi ke generasi-red)" diatas mengisyaratkan bahwa ucapan ini ma'tsur (merupakan atsar) dari para nabi terdahulu, diwarisi dan selalu diperbincangkan oleh orang-orang dari abad ke abad. Ini artinya, bahwa kenabian terdahulu memang telah mengenal ucapan ini dan masyhur di kalangan manusia hingga sampai kepada orang pertama dari umat ini. Statement semacam ini didukung oleh sebagian riwayat hadits, yang berbunyi: "manusia-manusia terdahulu tidak mengenal ucapan kenabian pertama yang lain kecuali ucapan ini". (dikeluarkan oleh Humaid bin Zanjawaih, dan selainnya).

Makna sabda beliau : "jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan"
Mengenai maknanya terdapat dua pendapat:

Pertama: kalimat tersebut bukan mengandung pengertian boleh berbuat sesuka hati, akan tetapi bermakna adz-Dzamm (celaan) dan an-Nahyu (larangan). Dalam mengimplementasikan pengertian diatas, terdapat dua cara :

Cara pertama: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: at-Tahdid wal wa'iid (ultimatum dan ancaman keras). Jadi maksudnya: jika engkau tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah apa yang engkau inginkan sebab sesungguhnya Allah akan mengganjar perbuatanmu tersebut, seperti dalam firman Allah: "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.,s. 41/Fushshilat:40). Dan firmanNya: "'Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. (Q.,.39/az-Zumar:15). Dan seperti makna hadits yang hanya ditautsiq (didukung kualitas sanad dan matannya) oleh Ibnu Hibban: "Barangsiapa yang menjual khamar (arak) maka hendaklah dia memotong-motong babi (baik untuk dijual atau dimakan)". Maksudnya : barangsiapa yang menghalalkan penjualan khamar/arak maka hendaklah terlebih dulu menghalalkan penjualan babi sebab kedua-duanya sama-sama diharamkan. Jadi disini ada perintah namun pengertiannya adalah larangan. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain; pendapat semacam ini adalah pilihan sekelompok ulama, diantaranya: Abul 'Abbas, Tsa'lab.

Cara kedua: bahwa amr (perintah) tersebut bermakna: al-Khabar (pemberitaan). Jadi maksudnya: barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu, dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan. Sebab sesungguhnya yang mencegahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk adalah sifat malu; orang yang tidak memiliki sifat ini, maka dia akan tenggelam ke dalam setiap perbuatan keji dan munkar dan orang yang seperti ini hanya bisa tercegah dari melakukannya bila dia memiliki rasa malu. Sepadan dengan makna ini adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih: "barang siapa yang berdusta kepadaku maka hendaklah dia menyediakan tempat duduknya di neraka". Lafazh hadits ini berupa amr (perintah) namun maknanya adalah al-Khabar (pemberitaan) yakni bahwa orang yang berdusta terhadap beliau maka dia sudah menyediakan tempat duduknya di neraka. Pendapat ini adalah pilihan Abu 'Ubaid, al-Qaasim bin Sallaam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr al-Marwazi, dan selain mereka. Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ahmad yang mengindikasikan pendapat seperti ini juga.

Kedua: kalimat tersebut mengandung pengertian ; perintah untuk melakukan apa yang dia inginkan sesuai dengan makna lafazh tersebut secara zhahirnya. Jadi artinya: apabila apa yang ingin engkau lakukan termasuk perbuatan yang tidak perlu merasa malu untuk melakukannya baik dari Allah maupun manusia karena ia merupakan perbuatan keta'atan/kebajikan atau akhlaq yang baik dan etika yang dianggap baik; maka ketika itu perbuatlah apa yang ingin engkau lakukan. Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama, diantaranya Abu Ishaq al-Marwazi asy-Syafi'i, dihikayatkan pendapat sepertinya dari Imam Ahmad, terdapat juga dalam sebagian manuskript ringkasan kitab "masaail Abi Daud", begitu juga seperti yang dihikayatkan oleh al-Khallal dalam kitabnya "al-Adab". Diantaranya perkataan sebagian Salaf ketika mereka ditanyai tentang definisi al-Muruuah : "bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang engkau malu melakukannya secara terang-terangan (sama malunya) di waktu engkau dalam kesendirian". Ungkapan ini sama dengan makna hadits "dosa adalah apa yang terbetik dalam hatimu sedangkan engkau takut orang lain mengetahuinya" (penjelasan tentang hadits ini telah kami tampilkan pada pembahasan yang lalu). Ada beberapa hadits yang senada dengan makna penjelasan diatas yang dipaparkan oleh Mushannif, diantaranya hadits dari Usamah bin Syuraik yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya "Shahih Ibni Hibban": dari Usamah bin Syuraik, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "sesuatu yang Allah benci darimu (untuk dilakukan), maka janganlah engkau lakukan juga bila engkau sedang sendirian".
Klasifikasi sifat malu, kedudukan dan keutamaannya
Klasifikasinya dan kedudukannya
Sifat malu ada dua macam:
Pertama, sifat malu bawaan yang tidak didapat melalui proses ; ini merupakan akhlaq yang paling mulia yang Allah karuniakan kepada hambaNya, oleh karena itulah dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dikatakan: "sifat malu tidak membawa selain kebaikan" sebab ia akan mencegah orang yang memilikinya untuk melakukan perbuatan yang buruk-buruk dan hina serta mendorongnya untuk menggunakan akhlaq yang mulia. Sifat ini merupakan bagian dari iman bila implikasinya terhadap pemiliknya demikian. Al-Jarrah bin 'Abdullah al-Hikami, salah seorang pahlawan penunggang kuda dari Ahli Syam, berkata: "aku tinggalkan dosa-dosa karena malu, selama empat puluh tahun; ternyata aku dapati kemudian sifat wara' ".
Kedua, sifat malu yang didapat melalui proses ma'rifatullah (mengenal Allah), keagunganNya, kedekatanNya dengan hamba-hambaNya, pengawasanNya terhadap perbuatan mereka serta ilmuNya terhadap apa saja yang tersembunyi di hati manusia. Ini merupakan bagian keimanan yang paling tinggi bahkan merupakan tingkatan ihsan paling tinggi, seperti dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada seorang laki-laki: "berlaku malu lah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang keluargamu yang paling shalih".
Keutamaannya

Diantara keutamaan sifat malu adalah:

·         Sifat malu adalah sifat yang dicintai oleh Allah; sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, an-Nasai dari hadits al-Asyajj al-'Ashri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Sesungguhnya engkau memiliki dua sifat yang dicintai oleh Allah". Aku bertanya kepada beliau: 'apa itu?'. Beliau bersabda :"sifat lemah lembut (al-Hilm) dan sifat malu". Aku bertanya lagi: 'sifat yang sudah lama (melekat padaku) atau yang baru?'. Beliau menjawab dengan sabdanya: "bahkan yang sudah lama". Aku berkata (pada diriku): 'alhamdulillah Yang telah menganugerahkan kepadaku dua sifat yang dicintai oleh Allah'. Begitu juga dengan apa yang dikatakan oleh seorang shahabat, Salman al-Farisi: "Sesungguhnya bila Allah menginginkan kehancuran/kebinasaan bagi seorang hambaNya, maka Dia akan mencabut dari dirinya sifat malu, dan bila sudah dicabut sifat tersebut dari dirinya maka dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia amat dimurkai dan murka, dan bila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut dari dirinya sifat amanah lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia dicap sebagai pengkhianat dan orang yang dikhianati, dan bila dia sudah menjadi pengkhianat dan orang yang dikhianati maka akan dicabut dari dirinya sifat rahmah (sifat belas kasih) lantas dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisi dia memiliki sikap keras dan berhati kasar, dan apabila dia sudah dalam kondisi demikian maka akan dicabut sebagian iman dari tengkuknya, dan bila sudah demikian maka dia tidak akan menemuiNya kecuali dalam kondisinya yang telah menjadi syaithan yang dilaknat dan suka melaknat".

·         Sifat malu merupakan bagian dari iman; sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Ibnu 'Umar radhiallâhu 'anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lewat di depan seorang laki-laki yang mencerca saudaranya yang memiliki sifat malu, dia (orang tersebut) berkata: "sesungguhnya engkau ini amat pemalu", seakan dia mengatakan (ungkapan ini berasal dari perawi hadits-red);"..ia (sifat malu tersebut) telah membahayakan dirimu". Lantas kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "biarkanlah dia! Karena sesungguhnya sifat malu itu adalah sebagian dari iman". (H.R.Bukhari, Muslim,…). Dan dalam hadits yang lain dikatakan: "sifat malu adalah cabang dari iman". (H.R. Bukhari, Muslim,…).

·         Sifat malu hanya membawa kebaikan; sebagaimana dalam hadits 'Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sifat malu tidak membawa selain kebaikan". (H.R.Bukhari dan Muslim).

Karakteristik sifat malu dan implikasinya

Karakteristiknya
Hal ini seperti digambarkan dalam hadits Ibnu Mas'ud :" Malu kepada Allah adalah bahwa engkau menjaga kepala dan apa yang disadari/ditangkapnya, (menjaga) perut dan apa yang dikandungnya, mengingat mati dan musibah (yang akan menimpa); barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dia meninggalkan gemerlap dunia. Maka siapa yang melakukan hal itu, berarti dia telah berlaku malu kepada Allah". (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi secara marfu').
Implikasinya
Sifat malu kepada Allah melahirkan tindakan untuk selalu memonitor semua nikmatNya dan melihat keterbatasan dan ketimpangan-ketimpangan dalam mensyukurinya. Bila seorang hamba telah dicabut sifat malu dari dirinya baik sifat malu bawaan atau pun yang didapat melalui proses maka dia tidak lagi memiliki filter untuk melakukan perbuatan yang jelek-jelek dan akhlaq yang rendah dan hina; lantas kemudian jadilah dia seakan-akan tidak memiliki iman sama sekali.

Seperti yang diungkapkan oleh 'Imran bin Hushain radhiallâhu 'anhu bahwa sifat malu yang dipuji dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah akhlaq yang memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang jelek, sedangkan kelemahan dan ketidakmampuan yang berimbas kepada keterbatasan dalam melakukan hak-hak Allah dan hak hamba-hambaNya maka hal ini tidaklah dinamakan sifat malu tersebut akan tetapi hal itu adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan semata.

Intisari Hadits
·         Diantara ungkapan yang populer sejak kenabian pertama hingga dari abad ke abad adalah : "jika engkau tidak merasa malu maka perbuatlah apa yang engkau inginkan".
·         Sifat malu ada dua macam: sifat bawaan dan sifat yang didapat setelah melalui proses.
·         Sifat malu merupakan bagian atau cabang dari cabang-cabang iman.
·         Orang yang tidak memiliki sifat malu sama sekali maka dia tidak akan memiliki filter diri dan akan selalu melakukan prilaku yang jelek dan hina.


ATAS NAMA CINTA



”Cinta” sebuah nama yang sering dibicarakan orang, dari yang muda sampai yang tua. Banyak manusia mengatas namakan cinta untuk setiap prilakunya. Tapi apakah mereka mengerti apa makna di balik sebuah kata ”cinta”.

”Cinta” memang sebuah nama yang sangat simple dan mudah untuk diucapkan.Tapi tahu kah apa dari cinta tersebut. Sebuah fenomena yang luar biasa. Membuat yang sedih menjadi ceria, jahat menjadi baek, peperangan menjadi perdamaian, kebencian menjadi persaudaraan, pahit menjadi manis, luka menjadi sembuh, sakit menjadi sehat. Semua itu atas nama cinta. Dan ketika kata ”Cinta disalah gunakan maka kejadiannya juga bakal sebaliknya.

Manusia hidup atas nama cinta, kita juga dilahirkan atas nama cinta dari kedua orang tua. Begitu penting dan bermaknanya ”Cinta” pada setiap insan. Hanya saja mereka tidak bisa menetapkannya di tempat yan tepat.

Apa arti cinta itu sebenarnya? Cinta adalah sebuah ungkapan rasa sayang dan simpati kita kepada seseorang. Kata cinta juga diberikan dari kita kepada Sang Pencipta, sebagai tanda kalau kita amat membutuhkan dan menyanjungnya. Rasa cinta yang kita berikan menunjukkan bahwasanya kita sangat menyukainya dan ingin bersamanya. Kecemburuan sering terjadi jika seseorang yang kita cintai bersama oranglain. Itulah cinta, satu nama memiliki seribu arti.

Cinta juga bisa berasal dari obsesi mendapatkan sesuatu. Tapi itu bukan cinta, ia hanyalah alat yang untuk mendapatkan objek itu. Kata ”Cinta” mempunyai makna yang universal. Setiap insan mempunyai tanggapan sendiri tentang arti cinta. Dan setiap insan juga punya cara sendiri untuk mencintai. Hanya saja sangat disesalkan jika cinta dijadikan sebuah alat untuk kepuasan nafsu belaka.

Cinta yang paling utama dan mulia hendaklah kita berikan kepada Allah dan RasulNya. Dengan mencintainya setulus hati akan memberikan seatu efek hebat pada diri kita. Gak percaya? Coba aja…!

( Silsilah Hadits Masyhur ) Masalah Talqin Mayit Setelah DiKuburkan Mukaddimah



Permasalahan Talqin Mayit merupakan salah satu hal yang krusial dan perlu difahami secara benar, mengingat ibadah adalah hal yang bersifat Tawqîfiyyah (sebatas nash dan sumbernya) sehingga di dalam melaksanakannya perlu ada nash yang pasti; shahih, sharih (jelas) dan kuat.

Dalam hal ini perlu ada pemilahan; antara Talqin Mayit yang disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan. Yang disyari'atkan adalah Talqin Mayit sebelum meninggal alias saat menghadapi sakratul maut karena memang didukung oleh dalil-dalil yang shahih. Yaitu, menalqinkan orang yang sedang sekarat tersebut dengan kalimat Tauhid "Lâ ilâha Illallâh".


Sedangkan yang tidak disyari'atkan adalah ketika sudah meniggal dunia, apalagi sudah dikuburkan. Adalah musibah besar bilamana hal yang serius seperti ini dilakukan berdasarkan hadits yang tidak ketahuan juntrungannya; apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
Nah, dalam silsilah kali ini kami mengangkat hadits tentang talqin mayit setelah dikuburkan tersebut, Bagaimanakah kualitasnya?, silahkan simak!


Hadits Ketiga
تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ
"Menalqin Mayit adalah setelah dikuburkan"

Sumber Hadits

Redaksi seperti ini diriwayatkan di dalam Mu'jam ath-Thabaraniy dengan SANAD DLA'IF (LEMAH)

Catatan Terhadap Kualitas Hadits

Komentar tentang kualitas hadits tersebut diatas disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam bukunya ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah.
Penahqiq (analis) buku tersebut, Syaikh Muhammad Luthfiy as-Shabbâgh menyatakan bahwa hadits tersebut berstatus : MAWDLU'
Hal ini berdasarkan:


1.    Kitab al-Fawâ`id al-Majmû'ah Fil Ahâdîts al-Mawdlû'ah karya Imam asy-Syawkaniy, Hal.268

2.    Kitab Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi'iy al-Kabîr karya Ibn Hajar, Jld.II, Hal.136, sekalipun beliau sudah berupaya untuk menguatkannya.

3.    Kitab Zâd al-Ma'âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, Hal.145. Beliau mengomentari hadits diatas, "Tidak shahih (bila dikatakan) Marfû' (terangkat periwayatannya hingga sampai kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam)."

4.    Kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm karya ash-Sha'âniy, Jld.II, Hal.113. Beliau berkata, "Pengarang kitab al-Manâr berkata, 'Sesungguhnya ulama yang menggeluti hadits tidak meragukan lagi hadits talqin tersebut adalah MAWDLU'.' "

5.    Kitab Fatâwa an-Nawawiy karya Imam an-Nawawiy, Hal.37

6.    Kitab Majma' az-Zawâ`id karya Ibn Hajar al-Haytamiy, Jld.III, Hal.45.

Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh selanjutnya berkata, "Sedangkan menalqinkan mayit sebelum meninggal (saat menghadapi sakarat) dengan kalimat Tauhid, maka hal ini memang valid dan banyak sekali hadits-hadits Shahîh yang menegaskan hal itu. Bisa dilihat pada komentar kami terhadap hadits no.322 pada kitab Mukhtashar al-Maqâshid (al-Hasanah, karya as-Sakhawiy-red.,) dengan tahqiq kami."
(Diambil dari: Kitab ad-Durar al-Muntatsirah Fil Ahâdîts al-Musytahirah karya Imam as-Suyuthiy, tahqiq, Syaikh Muhammad Luthfiy ash-Shabbâgh, Hal.196, Hadits no.469.



DO'A SETELAH SHOLAT


الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ، وَهُوَ الَّذِيْ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُوْ عَنِ السَّيِّئَاتِ، رَافِعُ السَّمَاوَاتِ، وَمُنَزِّلُ اْلآيَاتِ، اِلـهُنَا وَخَالِقُنَا وَرَازِقُنَا وَلَيْسَ لَنَا رَبٌّ سِوَاكَ، اللّهُمَّ انْفَعْنَا وَارْفَعْنَا بِالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ الَّذِيْ رَفَعْتَ مَكَانَهُ وَأَيَّدْتَ سُلْطَانَهُ، وَقُلْتَ يَا أَعَزَّ مِنْ قَائِلٍ سُبْحَانَهُ، فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ، ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ، أَحْسَنِ كُتُبِكَ نِظَامًا، وَأَفْصَحِهَا كَلاَمًا، وَأَبْيَنِهَا حَلاَلاً وَحَرَامًا، مُحْكَمِ الْبَيَانِ، ظَاهِرِ الْبُرْهَانِ، مَحْرُوْسٍ مِنَ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ. فِيْهِ وَعْدٌ وَوَعِيْدٌ وَتَخْوِيْفٌ وَتَهْدِيْدٌ، لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ. اللّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يُحَلِّلُ حَلاَلَهُ وَيُحَرِّمُ حَرَامَهُ، وَيَعْمَلُ بِمُحْكَمِهِ وَيُؤْمِنُ بِمُتَشَابِهِهِ، وَيَتْلُوْهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ يُرْضِيْكَ عَنَّا، اللّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْقُرْآنِ الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلُكَ وَخَاصَّتُكَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ. اللّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنِ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ، فَقَادَهُ إِلَى رِضْوَانِكَ وَالْجَنَّةِ، وَلاَ تَجْعَلْنَا مِمَّنِ اتَّبَعَهُ الْقُرْآنُ فَزَجَّ فِي قَفَاهُ إِلَى النَّارِ. اللّهُمَّ إِنَّا عَبِيْدُكَ بَنُوْ عَبِيْدِكَ بَنُوْ إِمَائِكَ نَوَاصِيْنَا بِيَدِكَ مَاضٍ فِيْنَا حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيْنَا قَضَاؤُكَ، نَسْأَلُكَ اللّهُمَّ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ رَبِيْعَ قُلُوْبِنَا وَنُوْرَ صُدُوْرِنَا وِجِلاَءَ أَحْزَانِنَا وَذَهَابَ هُمُوْمِنَا وَغُمُوْمِنَا، وَسَائِقَنَا وَدَلِيْلَنَا إِلَيْكَ وَإِلَى جَنَّاتِكَ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ. اللّهُمَّ أَلْبِسْنَا بِهِ الْحُلَلَ وَأَسْكِنَّا بِهِ الظُّلَلَ وَادْفَعْ بِهِ عَنَّا النِّقَمَ وَأَسْبِغْ عَلَيْنَا بِهِ النِّعَمَ وَاجْعَلْنَا بِهِ عِنْدَ الْجَزَاءِ مِنَ الْفَائِزِيْنَ وَعِنْدَ النَّعْمَاءِ مِنَ الشَّاكِرِيْنَ وَعِنْدَ الْبَلاَءِ مِنَ الصَّابِرِيْنَ، وَلاَتَجْعَلْنَا مِمَّنِ اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِيْنُ فَشَغَلَتْهُ بِالدُّنْيَا عَنِ الدِّيْنِ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِيْنَ وَفِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاِسِريْنَ. اللّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ لِقُلُوْبِنَا ضِيَاءً وَلأَِسْقَامِنَا دَوَاءً وَلأَِبْصَارِنَا جِلاَءً وَلِذُنُوْبِنَا مُمَحِّصًا وَعَنِ النَّارِ مُخَلِّصًا، وَارْزُقْنَا تِلاَوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ. اللّهُمَّ اجْعَلْ خَتْمَتَنَا هذِهِ خَتْمَةً طَيِّبَةً خَالِصَةً مَقْبُوْلَةً مُبَارَكَةً، عَلَى مَنْ قَرَأَهَا وَسَمِعَهَا وَأَمَّنَ عَلَى دُعَائِهَا. اللّهُمَّ أَنْتَ أَحَقّ ُمَنْ ذُكِرَ وَأَحَّقُ مَنْ عُبِدَ وَأَغْصَرُ مَنِ ابْتُغِيَ وَأَرْأَفُ مَنْ مَلَكَ وَأَجْوَدُ مَنْ سُئِلَ وَأَوْسَعُ مَنْ أَعْطَى، أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ شَرِيْكَ لَكَ وَالْفَرْدُ لاَ لِلدَّلَكِ، كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَكَ، لَنْ تُطَاعَ إِلاَّ بِإِذْنِكَ وَلَنْ تُعْصَى إِلاَّ بِعِلْمِكَ، تُطَاعُ فَتَشْكُرُ وَتُعْصَى فَتَغْفِرُ، أَقْرَبُ شَهِيْدٍ وَأَدْنَى حَفِيْظٍ حِلْتَ دُوْنَ النُّفُوْسِ، وَأَخَذْتَ بِالنَّوَاصِي وَكَتَبْتَ اْلآثَارَ وَنَسَخْتَ اْلآجَالَ. الْقُلُوْبُ لَكَ مُفْضِيَةٌ وَالسِّرُّ عِنْدَكَ عَلاَنِيَةٌ، الْحَلاَلُ مَا أَحْلَلْتَ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمْتَ وَالدِّيْنُ مَا شَرَعْتَ وَاْلأَمْرُ مَاقَضَيْتَ. الْخَلْقُ خَلْقُكَ وَالْعِبَادُ عَبِيْدُكَ وَأَنْتَ الله ُالرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، يَا مَنْ لاَ تَرَاهُ الْعُيُوْنُ وَلاَ تُخَالِطُهُ الظُّلُوْمُ وَلاَ يَصِفُهُ الْوَاصِفُوْنَ وَلاَ تُغَيِّرُهُ الْحَوَادِثُ وَلاَ يَخْشَى الدَّوَائِرَ، وَيَعْلَمُ مَثَاقِيْلَ الْجِبَالِ وَمَكَايِيْلَ الْبِحَارِ وَعَدَدَ قَطْرِ اْلأَمْطَارِ وَعَدَدَ وَرَقِ اْلأَشْجَارِ وَعَدَدَ مَا أَظْلَمَ عَلَيْهِ اللَّيْلُ وَأَشْرَقَ عَلَيْهِ النَّهَارُ، وَلاَ تُوَارَى مِنْهَ سَمَاءٌ سَمَاءً وَلاَ أَرْضٌ أَرْضًا وَلاَ بَحْرٌ مَا فِي قَعْرِهِ وَلاَ جَبَلٌ مَا فِي وَعْرِهِ، يَا مَنْ أَظْهَرَ الْجَمِيْلَ وَسَتَرَ الْقَبِيْحَ، يَا مَنْ لاَ يُؤَاخِذُ بِالْجَرِيْرَةِ وَلاَ يَهْتِكُ السِّتْرَ، يَا حَسَنَ التَّجَاوُزِ يَا وَاسِعَ الْمَغْفِرَةِ يَا بَاسِطَ الْيَدَيْنِ بِالرَّحْمَةِ، يَا صَاحِبَ كُلِّ نَجْوًى وَيَا مُنْتَهَى كُلِّ شَكْوًى يَا كَرِيْمَ الصَّفْحِ يَا عَظِيْمَ الْمَنِّ يَا مُبْتَدِئَ النِّعَمِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا، يَا رَبَّنَا وَسَيِّدَنَا وَمَوْلاَنَا وَيَا غَايَةَ رَغْبَتِنَا. اللّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ دَيْنًا إِلاَّ قَضَيْتَهُ وَلاَ حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ هِيَ لَكَ رِضًى وَلَنَا فِيْهَا صَلاَحٌ إِلاَّ أَعَنْتَنَا عَلَى قَضَائِهَا وَيَسَّرْتَهَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. اللّهُمَّ اهْدِنَا لِصَالِحِ اْلأَعْمَالِ وَاْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لِصَالِحِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنَّا سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنَّا سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ. اللّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْقَسْوَةِ وَاْلغَفْلَةِ وَاْلعِيْلَةِ وَالذِّلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ وَالْفُسُوْقِ وَالشِّقَاقِ وَالسُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ. اللّهُمَّ إِناَّ نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا. اللّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ اْلأَخْلاَقِ وَاْلأَعْمَالِ وَاْلأَهْوَاءِ وَاْلأَدْوَاءِ، وَنَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَماَ لَمْ نَعْلَمْ. اللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مَوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِناَّ كُنَّا مِنَ الظَّالِمِيْنَ. اللّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي اْلأُمُوْرِ كَلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ اْلآخِرَةِ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِي هُوَ عِصْمِةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِي فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِي إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ. اللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لَنَا وَتَرْحَمَنَا وَتَتُوْبَ عَلَيْنَا، وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةً فِي قَوْمٍ فَاقْبِضْنَا إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنِيْنَ. اللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ. يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، بِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ وَلاَ أَقَلَّ مِنْ ذلِكَ. اللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَسْأَلَةِ وَخَيْرَ الدُّعَاءِ وَخَيْرَ النَّجَاحِ وَخَيْرَ الْعَمَلِ وَخَيْرَ الثَّوَابِ وَخَيْرَ الْحَيَاةِ وَخَيْرَ الْمَمَاتِ، وَثَبِّتْنَا وَثَقِّلْ مَوَازِيْنَنَا وَحَقِّقْ إِيْمَانَنَا وَارْفَعْ دَرَجَاتِنَا وَتَقَبَّلْ صَلاَتَنَا وَاغْفِرْ خَطِيْئَاتِنَا وَنَسْأَلُكَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ. اللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فَوَاتِحَ الْخَيْرِ وَخَوَاتِمَهُ وَجَوَامِعَهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَظَاهِرَهُ وَبَاطِنَهُ. اللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا نَأْتِي وَخَيْرَ مَا نَفْعَلُ وَخَيْرَ مَا نَعْمَلُ وَخَيْرَ مَا نُبْطِنُ وَخَيَرَ مَا نُظْهِرُ. اللّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَاحْمِ حَوْزَةَ اْلإِسْلاَمِ وَاجْمَعْ كَلِمَةَ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اللّهُمَّ انْصُرْ دِيْنَكَ وَكِتَابَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ وَعِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللّهُمَّ أَعِدِ الْمَسْجِدَ اْلأَقْصَى إِلَى رِحَابِ الْمُسْلِمِيْنَ، اللّهُمَّ وَطَهِّرْهُ مِنَ الْيَهُوْدِ الْغَاصِبِيْنَ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِهِمْ فَإِنَّهُمْ لاَ يُعْجِزُوْنَكَ يَا قَوِيُّ يَا عَزِيْزُ. اللّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ مُجْرِيَ السّحَابِ هَازِمَ اْلأَحْزَابِ سَرِيْعَ الْحِسَابِ، اِهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ يَا قَوِيُّ يَا عَزِيْزُ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. اللّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَبِكَ مِنْكَ لاَ نُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. وَصَلِّ اللّهُمَّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ.

Sabtu, 09 Maret 2013

Macam-Macam Selaput Dara


Selaput dara dalam bahasa medisnya dikenal sebagai hymen, yaitu membran tipis yang secara biologis tidak mempunyai fungsi apapun namun mempunyai beban kultural dan psikologis yang sangat berat bagi wanita.Tapi ternyata tidak hanya tubuh yang bisa dilihat bentuknya, selaput darah pun mempunyai bentuk dengan derajat kelembutan dan fleksibilitas yang berbeda-beda. Semuanya bersifat individual, seperti penelitian yang dilakukan Frank H. Netter, MD. yang termuat dalam bukunya The Human Sexuality. Menurutnya ada bermacam bentuk selaput darah. 

1. Annular hymen, selaput melingkari lubang vagina.
2. Septate Hymen, selaput yang ditandai dengan beberapa lubang yang terbuka.
3. Cibriform Hymen, selaput ini juga ditandai beberapa lubang yangterbuka, tapi lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak.
4. Introitus, pada perempuan yang sangat berpengalaman dalam berhubungan seksual, bisa saja lubang selaputnya membesar, namun masih menyisakan jaringan selaput darah.

Bapak Kencing Berdiri, Anak Kencing Berlari

NGGAK MASUK

Seorang guru bertanya ke salah satu muridnya.
Guru  : "Udin, Kenapa kemarin kamu tidak masuk sekolah ?"
Udin  : "Begini bu, kemarin khan saya kehujanan.
         Baju yang saya pakai cuma satu jadi saya cuci dulu."

Dua hari kemudian, Udin nggak masuk sekolah lagi.

Guru  : "Udin, kenapa kamu tidak masuk sekolah lagi ??"
Udin  : "Begini bu, kemarin saya sudah berangkat ke sekolah.
         Tapi pas saya lewat rumah bu guru, saya lihat baju ibu
         lagi di jemur, saya pikir ibu juga tidak masuk sekolah kemarin."

__________________________________________________________
Belum tahu judulnya apa nih, tapi ini cerita tentang anak kecil yang
baaaadung banget ...

Ada anak kecil yang badung banget deh, badung abis deh tuh anak.
Suatu hari dia lagi mencuri mangga milik tetangganya. Dan apesnya
pas lagi asyik-asyiknya di atas pohon, sang pemilik mangga tahu kalau
pohon mangga kesayangannya itu lagi dicuri. Langsung aja si pemilik
mangga tadi keluar trus langsung deh mencak-mencak ke atas pohon:

" Woooyy, anak sundel, anak kurang ajar lo yeee, turun gak lo...!!!!
  Kalo lo kagak mau turun ........ntar
  Gue bilangin lo sama bokap lo "

tahu nggak..,  si badung ngomong apaan ....:

(sambil masang tampang belagu)

" Oom, bilangin sonoooo ... Bokap gue ada diatas nih !!! "



CERITA LUCU BERMANFAAT ( Pelajaran Penting )


1- Semuanya Penting


Pada bulan ke-2 diawal kuliah saya, seorang Profesor memberikan quiz mendadak pada kami. Karena kebetulan cukup menyimak semua kuliah-kuliahnya, saya cukup cepat menyelesaikan soal-soal quiz, sampai pada soal yang terakhir. Isi Soal terakhir ini adalah : Siapa nama depan wanita yang menjadi petugas pembersih sekolah ?

Saya yakin soal ini cuma "bercanda". Saya sering melihat perempuan ini. Tinggi, berambut gelap dan berusia sekitar 50-an, tapi bagaimana saya tahu nama depannya..?
Saya kumpulkan saja kertas ujian saya, tentu saja dengan jawaban soal terakhir kosong.
Sebelum kelas usai, seorang rekan bertanya pada Profesor itu,
mengenai soal terakhir akan "dihitung" atau tidak. "Tentu Saja Dihitung !!" kata si Profesor.
"Pada perjalanan karirmu, kamu akan ketemu banyak orang. Semuanya penting !.
Semua harus kamu perhatikan dan pelihara, walaupun itu cuma dengan sepotong senyuman, atau sekilas "hallo" !
Saya selalu ingat pelajaran itu. Saya kemudian tahu, bahwa nama depan ibu pembersih sekolah adalah "Dorothy".


2 Penumpang yang Kehujanan


Malam itu, pukul setengah dua belas malam. Seorang wanita negro rapi yang sudah berumur, sedang berdiri di tepi jalan tol Alabama. Ia nampak mencoba bertahan dalam hujan yang sangat deras, yang hampir seperti badai. Mobilnya kelihatannya lagi rusak, dan perempuan ini sangat ingin menumpang mobil.


Dalam keadaan basah kuyup, ia mencoba menghentikan setiap mobil yang lewat.

Mobil berikutnya dikendarai oleh seorang pemuda bule, dia berhenti untuk menolong ibu ini. Kelihatannya si bule ini tidak paham akan konflik etnis tahun 1960- an, yaitu diskriminasi ras pada saat itu.
Pemuda ini akhirnya membawa si ibu negro selamat hingga suatu tempat, untuk mendapatkan pertolongan, lalu mencarikan si ibu ini taksi.



Walaupun terlihat sangat tergesa-gesa, si ibu tadi bertanya tentang alamat si pemuda itu, menulisnya, lalu mengucapkan terima kasih pada si pemuda. 7 hari berlalu, dan tiba-tiba pintu rumah pemuda bule ini diketuk Seseorang.

Kejutan baginya, karena yang datang ternyata kiriman sebuah televisi set besar berwarna (pada tahun 1960-an !) khusus dikirim kerumahnya. Terselip surat kecil tertempel di televisi, yang isinya adalah :



" Terima kasih nak, karena membantuku di jalan Tol malam itu. Hujan tidak hanya membasahi bajuku, tetapi juga jiwaku. Untung saja anda datang dan menolong saya. Karena pertolongan anda, saya masih sempat untuk hadir disisi suamiku yang sedang sekarat... hingga wafatnya. Tuhan memberkati anda, karena membantu saya dan

tidak mementingkan dirimu pada saat itu"


Tertanda
Ny. Nat King Cole
Catatan : Nat King Cole, adalah penyanyi negro tenar thn. 60-an di USA

Selalulah perhatikan 


selalulah perhatikan dan ingat, pada semua yang anda layani. 

Di zaman es-krim khusus (ice cream sundae) masih murah, seorang anak laki-laki umur 10-an tahun masuk ke Coffee Shop Hotel, dan duduk di meja. Seorang pelayan wanita menghampiri, dan memberikan air putih dihadapannya.



Anak ini kemudian bertanya " Berapa ya,... harga satu ice cream sundae ?" katanya. "50 sen..." balas si pelayan.

Si anak kemudian mengeluarkan isi sakunya dan menghitung dan mempelajari koin-koin di kantongnya.... 
"Wah... Kalau ice cream yang biasa saja berapa ?" katanya lagi.
Tetapi kali ini orang-orang yang duduk di meja-meja lain sudah mulai banyak... dan pelayan ini mulai tidak sabar.
"35 sen" kata si pelayan sambil uring-uringan. Anak ini mulai menghitungi dan mempelajari lagi koin-koin yang tadi dikantongnya.
"Bu... saya pesen yang ice cream biasa saja ya..." ujarnya. Sang pelayan kemudian membawa ice cream tersebut,
meletakkan kertas kuitansi di atas meja dan terus melengos berjalan. Si anak ini kemudian makan ice-cream, bayar di kasir, dan pergi.



Ketika si Pelayan wanita ini kembali untuk membersihkan meja si anak kecil tadi, dia mulai menangis terharu.

Rapi tersusun disamping piring kecilnya yang kosong, ada 2 buah koin 10-sen dan 5 buah koin 1-sen.



Anda bisa lihat... anak kecil ini tidak bisa pesan Ice-cream Sundae,

karena tidak memiliki cukup untuk memberi sang pelayan uang tip yang "layak" ......


4 - Penghalang di Jalan Kita


Zaman dahulu kala, tersebutlah seorang Raja, yang menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah jalan.

Raja tersebut kemudian bersembunyi, untuk melihat apakah ada yang mau menyingkirkan batu itu dari jalan.



Beberapa pedagang ter-kaya yang menjadi rekanan raja tiba ditempat, untuk berjalan melingkari batu besar tersebut.

Banyak juga yang datang, kemudian memaki-maki sang Raja, karena tidak membersihkan jalan dari rintangan.
Tetapi tidak ada satupun yang mau melancarkan jalan dengan menyingkirkan batu itu.



Kemudian datanglah seorang petani, yang menggendong banyak sekali sayur mayur. Ketika semakin dekat,

petani ini kemudian meletakkan dahulu bebannya, dan mencoba memindahkan batu itu kepinggir jalan.
Setelah banyak mendorong dan mendorong, akhirnya ia berhasil menyingkirkan batu besar itu.



Ketika si petani ingin mengangkat kembali sayurnya, ternyata ditempat batu tadi ada kantung yang berisi banyak uang emas dan surat Raja. Surat yang mengatakan bahwa emas ini hanya untuk orang yang mau menyingkirkan batu tersebut dari jalan.



Petani ini kemudian belajar, satu pelajaran yang kita tidak pernah bisa mengerti. Bahwa pada dalam setiap rintangan, tersembunyi kesempatan yang bisa dipakai untuk memperbaiki hidup kita.


5 - Memberi, ketika dibutuhkan

Waktu itu, ketika saya masih seorang sukarelawan yang bekerja di sebuah rumah sakit, saya berkenalan dengan seorang gadis kecil yang bernama Liz, seorang penderita satu penyakit serius yang sangat jarang.

Kesempatan sembuh, hanya ada pada adiknya, seorang pria kecil yang berumur 5 tahun, yang secara mujizat sembuh dari penyakit yang sama. Anak ini memiliki antibodi yang diperlukan untuk melawan penyakit itu.


Dokter kemudian mencoba menerangkan situasi lengkap medikal tersebut ke anak kecil ini, dan bertanya apakah ia siap memberikan darahnya kepada kakak perempuannya. Saya melihat si kecil itu ragu-ragu sebentar, sebelum mengambil nafas panjang dan berkata "Baiklah... Saya akan melakukan hal tersebut....
asalkan itu bisa menyelamatkan kakakku".

Mengikuti proses tranfusi darah, si kecil ini berbaring di tempat tidur, disamping kakaknya. Wajah sang kakak mulai memerah, tetapi Wajah si kecil mulai pucat dan senyumnya menghilang. Si kecil melihat ke dokter itu, dan bertanya dalam suara yang bergetar...
katanya "Apakah saya akan langsung mati dokter... ?" 

Rupanya si kecil sedikit salah pengertian. Ia merasa, bahwa ia harus menyerahkan semua darahnya untuk menyelamatkan jiwa kakaknya.
Lihatlah... bukankah pengertian dan sikap adalah segalanya.... ?



Jumat, 08 Maret 2013

Cara Upload file pdf di blogger


Postingan ini sebagai respon dari pertanyaan kawan kita, tentang bagaimana menyisipkan file PDF dalam  posting 
Blogger. Ada trik untuk itu. Kita membutuhkan layanan dari pihak ketiga. Dalam hal ini saya memberi contoh  dengan 
 menggunakan layanan dari Scribd.com. Semoga ini  juga berguna bagi  para teman-teman. Silakan ikuti petunjuk 
dibawah ini :
1. Kunjungi website www.scribd.com
2. Klik Sign Up untuk mendaftar, Masukkan data diri Anda.
3. Masuk ke akun e-mail Anda. Buka e-mail dari Scribd berjudul "Verify your e-mail address",     klik link yang
    tersedia dan loginlah
4. Pada Step 1 - Choose Documents to Upload, klik browse untuk memilih dokumen PDF Anda di komputer,
    Klik "Upload"
5. Pada halaman "Describe Your Document", isilah isian dari judul dokumen hingga keywordnya, klik "Save"
6. Selanjutnya pada halaman "Share Your Document", gulung halaman ke bawah, pada pilihan "Share This
    Document", klik button" Embed Code"
7. Masuk ke Akun Blogger Anda.
8. Klik "Buat Entri", klik Tab "Edit HTML", masukkan kode dari Scribd tadi dengan menekan Ctrl + V
9. Hasilnya, dokumen PDF Anda akan termuat dalam postingan Blogger Anda. Anda tinggal menerbitkan
entri/postingan Anda.
Awalnya anda pasti binggung nanti udah terbiasa terasa gampang-gampang susah. silakan dicoba
Semoga Berhasil...
cara upload file pdf di blogger.
lihat di link di bawah ini.
 http://omins-min.blogspot.com/2012/04/cara-upload-file-pdf-di-blogger.html

KUMPULAN MAKALAH ULUMUL QUR'AN ( ASBABUNNUZUL )


Muqaddimah
Add caption




            Ilmu sebab turunnya al-Qur’an adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulumul Qur’an. Para penulis yang berkompeten dalam bidang ini, semisal Al-Suyuthi dengan al-Itqon, Al-Zarkasyi dengan Al-Burhan, Al-Zarqoni dengan Manahilul ‘Irfan, hingga Manna’ Qotthan dengan Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an, serta para penulis kontemporer,  semuanya memasukan bahasan khusus tentang asbabunnuzul.
            Kajian tentang asbabunnuzul adalah bentuk dari analisis sejarah al-Qur’an, sebagai upaya untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dari kontek kesejarahan,  yakni peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya ayat, dengan berbagai macam ragamnya. Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan peristiwa tertentu, harus difahami dengan mengaitkan latar belakang peristiwanya, hal ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Meskipun yang lebih banyak adalah ayat-ayat al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh sebab tertentu.
Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang asbabunnuzul dipandang sangat penting untuk bisa memahami penafsiran al-Qur’an yang benar, karena itu mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang sebab-sebab turunnya ayat, atau kepada sahabat lainnya yang menjadi saksi sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pula para tabi’in yang datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka memerlukan pengetahuan asbabunnuzul agar tidak salah dalam mengambil istimbath (kesimpulan).
            Mengetahui asbabunnuzul berpengaruh besar terhadap pemahaman makna ayat-ayat al-Qur’an, bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin bisa difahami dengan benar tanpa mengetahui asbabunnuzul[1]. Seperti firman Allah dalan suart Al-Baqarah ayat : 115 yang berbunyi:
ولله المشرق و المغرب فأينما تولوا فثم وجه الله  “

 “ Dan bagi Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kalian memalingkan muka, maka disana pula wajah Allah “. Bila difahami secara lahiriah, akan disimpulkan bahwa shalat ke arah mana saja tanpa menghadap kiblat dibenarkan. Tentu saja ini merupakan pemahaman yang salah, karena menghadap kiblat merupakan salah satu syarat syahnya shalat, tetapi dengan memahami sebab turunnya ayat, akan menjadi jelas bahwa ayat ini diperuntukkan bagi musafir yang tidak mengetahui arah kiblat, setelah berijtihad dan menunaikan shalat ia baru menyadari kesalahannya, dalam kasus demikian shalatnya tetap syah dan dia tidak berkewajiban untuk mengulangi shalatnya. Atau bagi musafir yang menunaikan shalat sunnah dalam keadaan naik kendaraan.
            Contoh lain yang membuktikan pentingnya asbabunnuzul ini adalah firman Allahdalam suart Al-Ma’idah ayat : 93 yang berbunyi :
ليس على الذين آمنوا و عملوا الصالحات جناح فيما طعموا اذا ما اتقوا و آمنوا
و عملوا الصالحات ثم اتقوا و آمنوا ثم اتقوا و أحسنوا و الله يحب المحسنين "
“ Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal shaleh terhadap apa-apa yang mereka makan jika mereka bertaqwa dan beriman serta beramal shaleh, kemudian mereka bertaqwa dan beriman, kemudian mereka bertaqwa dan berbuat kebaikan, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan ”.
Tanpa memahami asbabunnuzul orang akan beranggapan bahwa minum khomer diperbolehkan bagi orang beriman, padahal hukumnya sudah jelas haram. Ayat diatas turun sebagai jawaban atas rasa penasaaran sebagian sahabat tentang nasib sebagian sahabat yang sudah wafat sementara mereka diketahui terbiasa menkonsumsi khomer. Maka Allah menjelaskan bahwa perbuatan mereka (minum khomer ) sebelum Islam atau sebelum diharamkannya khomer tidak berdosa dan sudah dimaafkan.[2]
            Karena pentingnya asbabunnuzul ini banyak ulama yang menaruh perhatian khusus dalam kajian ini, bahkan sebagian mereka menulis buku khusus tentang asbabunnuzul seperti Ali bin Al-Madini, gurunya Imam Bukhori, kemudian al-Wahidi menulis kitab asbabunnuzul, kitab ini kemudian dirangkum oleh  al-Ja’bari dengan menghilangkan sanad-sanad hadistnya, tetapi tanpa mengurangi ataupun menambah isinya. Demikian pula Syaikhul Islam  Ibnu Hajar, sayangnya buku beliau tidak sampai kepada kita dengan lengkap, dan yang paling populer adalah Al-Suyuthi dengan kitabnya ” Lubabunnuqul fi asbabinnuzul ”.[3]
Studi kritis yang dilakukan para pakar terhadap buku-buku asababunnuzul ini memang meninggalkan catatan, bahwa banyak riwayat dalam asbabunnuzul yang perlu ditakhrij kembali, untuk mengetahui kekuatan validitas riwayat tersebut dari Nabi SAW. Disamping juga dirasakan adanya pemaksaan yang berlebihan dalam menerapkan sebab musabab akan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Meski demikian, karya ulama yang menumental tersebut tetaplah sangat berharga karena telah menghantarkan kita memahami pengertian ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan peristiwa dan fakta-fakta sejarah yang melatarbelakanginya.
            Dalam tulisan sederhana berikut ini akan diuraikan secara ringkas beberapa bahasan yang berkaitan dengan asbabunnuzul, yaitu : 1. Pengertian asbabunnuzul. 2. Bentuk peristiwa yang menjadi asbabunnuzul. 3. Cara mengetahui asbabunnuzul. 4. Metode penganbilan riwayat asbabunnuzul. 5. Faedah mengetahui asbabunnuzul. Dan  5. Beberapa kaidah yang berkaitan dengan asbabunnuzul.
Pengertian Asbabunnuzul
Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, ahli ilmu tafsir, mendefinisikan asbabunnuzul sebagai suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang setelah itu turun ayat membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa tersebut.[4] Definisi yang berdekatan disampaikan oleh Manna’ Al-Qatthan ” Asbabunnuzul adalah suatu hal yang karenanya Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum ) nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.[5] Dr. Shubhi Shaleh mendefinisikan asbabunnuzul sebagai suatu perkara yang menyebabkan turunnya ayat, baik berupa jawaban, atau sebagai penejelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[6] Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa asbabunnuzul adalah : Apa-apa yang diturunkan dalam al-Qur’an berupa jawaban atau keterangan mengenai persoalan maupun peristiwa.
Menurut Al-Zarqoni dan Al-Ja’bari,  dilihat dari segi peristiwa yang terkait, maka turunnnya ayat Al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1.      Ayat yang diturunkan mubtada’an - tanpa ada peristiwa yang terjadi ketika ayat itu diturunkan oleh Allah SWT. Turunnya ayat atau beberapa ayat ini semata-mata merupakan petunjuk Allah SWT kepada manusia. Kehendak-Nya untuk memberi petunjuk kepada manusia inilah yang menjadi asbabunnuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Walaupun tidak atau belum diketahui konteks peristiwa turunnya ayat itu dalam sejarah. Ayat-ayat dalam kategori ini lebih banyak jumlahnya, terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip keimanan, keislaman dan akhlak yang luhur.
2.      Ayat yang diturunkan Allah SWT berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu.[7] Ayat seperti ini jumlahnya tidak banyak. Misalnya, Allah SWT menurunkan surah al-Nisa’ (4) untuk menjelaskan berbagai kasus yang berhubungan dengan kaum wanita, surah al-Anfal (8) untuk menjelaskan berbagai persoalan yang berkaitan dengan perang, atau surah Al-Tholaq (65) yang membicarakan masalah yang berkaitan dengan talak. Biasanya setelah terjadi suatu peristiwa, maka disusul kemudian dengan turunnya satu atau beberapa ayat yang membicarakan masalah yang berkait dengan peristiwa tersebut. Peristiwa yang terjadi sebelum atau pada saat turunnya ayat ini oleh para mufassir disebut juga sebagai asbabunnuzul. Karena ayat-ayat tersebut hanya diturunkan kepada Rasulullah SAW, maka asbabunnuzul tersebut hanyalah kasus yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat dan Al-Qur’an telah diturunkan secara sempurna (QS.5:3), maka masalah asbabu an-nuzul tidak ada lagi.
Bila kita menelaah buku-buku tafsir akan kita temukan banyak keterangan peristiwa dan kisah-kisah zaman dahulu yang dihubungkan dengan ayat-ayat tertertu, hal itu menurut Ibnu Taimiyah bukan termasuk asbabunnuzul, tetapi sekedar penjelasan dari al-Qur’an akan peristiwa yang terdahulu untuk dijadikan ibrah dan pelajaran bagi ummat manusia.
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, pakar tafsir di Indonesia, asbabunnuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat itu tidak akan turun. Pemakaian kata asbab bukanlah dalam arti yang sebenarnya. Tanpa adanya suatu peristiwa, Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti turunnya ayat Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena Al-Qur’an tidak berbentuk fisik atau materi. Pengertian turun menurut para mufassir, mangandung pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya, Muhammad SAW, dari alam ghaib ke alam nyata melalui malaikat Jibril.[8]

Bentuk Peristiwa Yang Menjadi Asbabunnuzul
Peristiwa yang terjadi sebelum atau pada saat turunnya suatu ayat atau beberapa ayat tersebut, diantaranya bisa terbentuk sebagai berikut:
1.      Adanya perselisihan diantara shahabat yang perlu segera diselesaikan, seperti pertengkaran yang terjadi antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj di Madinah akibat hasutan licik Syas bin Qaisy, seorang yahudi Madinah, hingga mereka saling berteriak untuk mengangkat senjata. Dalam kasus ini Allah menurunkan surah Ali Imran (3) ayat 100.
 ياأيها الذين آمنوا ان تطيعوا فريقا من الذين أوتوا الكتاب يردوكم بعد ايمانكم كافرين
“ Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mentaati sebagian dari ahli kitab, niscaya akan mengembalikan kalian setelah iman ke dalam kekufuran “.
2.      Terjadinya suatu kekeliruan akibat suatu perbuatan dosa, seperti seorang sahabat yang menjadi imam shalat dalam keadaan mabuk sehingga ia keliru dalam membaca ayat 2 surah al-Kafirun (109). Ayat tersebut semestinya berbunyi: “la a’budu ma ta’budun, (saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah)”. Tetapi ketika menjadi imam sahabat itu membaca: “a’budu ma ta’budun, (saya menyembah apa yang kalian sembah)”. Kekeliruannya adalah tidak membaca kata la. Dalam kasus ini turunlah surah al-Nisa’ (4) ayat 43.
ياأيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة و أنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ( الآية )
“ Wahai oang-orang yang beriman janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. ( al-ayat )
3.      Harapan dan keinginan yang diajukan oleh sebagian sahabat yang kemudian Allah meneurunkan ayat yang isinya persis seperti harapan yang diajukan tersebut. Dalam hal ini yang terkenal adalah ‘Umar bin Khotthab dengan muwafaqatnya. Ketika berada di Maqam Ibrahim, ‘Umar mengajukan usulan kepada Rasululah SAW agar tempat tersebut dijadikan  mushalla, Allah kemudian menurunkan surat Al-Baqarah ayat 125  :
 واتخذوا من مقام ابراهيم مصلى
Dan jadikanlah dari maqam Ibrahim sebagai tempat shalat “.
Ketika ‘Umar mengususlkan agar istri-istri nabi berada ditempat yang lebih tertutup, disebabkan tidak semua orang yang berhubungan dengan mereka berkepribadian baik, maka Allah kemudian menurunkan ayat hijab.[9] Ketika para istri Rasul sepakat meminta tambahan nafakah, hal mana dirasa sangat memberatkan Rasulullah SAW, maka ‘Umar berkata kepada mereka  :
عسى ربه ان طلقكن ان يبدله أزواجا خيرا منكن

“ Semoga Tuhannya ( Allah ) jika ( nabi ) menceraikan kalian, akan menggantikan baginya istri-istri yang lebih baik dari kalian “, ayat al-Qur’an pun kemudian turun persis dengan lafadz ucapan ‘Umar tersebut ( Surah Al-tahrim ayat 5 ). Dan masih banyak lagi turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang dihubungkan dengan ‘Umar bin Khatthab, hingga sebagian ulama ada yang menulis buku husus tentang muwafaqat ‘Umar dengan wahyu, dan karena itu pula maka Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan kebenaran di lidah ‘umar bin Khatthab r.a.
4.      Pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa yang diajukan kepada Rasullulah, baik peristiwa masa lalu, yang sedang terjadi, maupun yang akan datang. Misalnya, Allah menurunkan surah al-Kahfi (18) ayat 83 tentang Dzul qornain ketika pertnayaan masa lalu diajukan kepada Rasulullah SAW; Allah menurunkan surah al-Nazi’at (79) ayat 42 yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah SAW tentang masa yang akan datang, yaitu hari kiamat; dan Allah menurunkan surah al-Isra’ (17) ayat 85 yang berkaitan dengan pertanyaan tentang masalah roh yang diajukan kapada Rasulullah SAW. Disamping itu ada pula ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT untuk menjawab pertanyaan yang masih akan diajukan kepada Rasulullah SAW. Maksudnya, pada saat ini pertanyaan itu belum muncul, tetapi pada saat yang akan datang akan dipertanyakan kepada Rasulullah SAW. Diantara ayat yang diturunkan Allah SWT mendahului pertanyaan yang akan diajukan kepada Rasulullah SAW adalah surah Taha (20) ayat 105, tentang orang-orang kafir yang menanyakan keadaan gunung-gunung di hari kiamat.

Cara Mengetahui Asbab an-Nuzul
Para ahli ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulumul Qur’an) menyatakan bahwa karena Asbab an-Nuzul adalah peristwa-peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah SAW. Maka untuk mengetahui Asbab an-Nuzul harus melakukan periwayatan yang shahih dari para sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung peristiwa yang berhubungan dengan turunya ayat-ayat tertentu atau melalui para ahli yang telah melakukan penelitian dengan cermat, baik dari kalangan tabi’in maupun ulama-ulama lainnya yang dapat dipercaya. Dalam hal ini Ibnu Sirin berkata “ Aku bertanya kepada ‘Ubaidah tentang satu ayat dari al-Qur’an, maka beliau berkata “ Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, orang-orang yang mengetahui dalam hal apa ayat-ayat al-Qur’an diturunkan Allah telah pada meninggal “, maksudnya bahwa memahami asbabunnuzul tidak bisa semata-mata dengan logika, tetapi hanya dengan mengetahui riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Disini kita juga menangkap sikap kehati-hatian generasi salaf dalam menerima rawayat hadist, hususnya yang berkaitan dengan asbabunnuzul, agar terhindar dari riwayat yang palsu.
Cara mengetahui Asbabunnuzul melalui periwayatan yang sahih tersebut terkadang dapat dilihat dai ungkapan perawi yang mengatakan, “sabab nuzul al-ayah kadza” (sebab turunnya ayat demikian). Ada kalanya asbabunnuzul tidak diungkap dengan kata sabab (sebab­), tetapi diungkapkan dengan kalimat “fa nazalat” (lalu turun ayat). Misalnya perawi mengatakan “su’ila an-nabiy salla Allah ‘alaihi wa sallam ‘an kadza, fa nazalat…..(Nabi SAW ditanya tentang suatu hal, lalu turun ayat…)”.
Selain itu, terkadang perawi mengungkapkan asbab an-nuzul dengan pernyataan, “nuzilat hazihil ayah fi kadza (ayat ini diturunkan dengan kasus demikian), Menurut jumhur ulama tafsir, apabila ungkapan perawi demikian, maka itu merupakan peryataan yang tegas dan dapat diprcaya sebagai asbabnnuzul satu atau beberapa ayat al-Qur’an. Akan tetapi Ibnu Taymiyah, fakih dan mifassir Mazhab Hanbali, berpendapat bahwa ungkapan “nuzilat hadzihi ayah fi kadza” terkadang menyatakan sebab turunya ayat, namun terkadang juga menunjukkan kandungan ayat yang diturunkan tanpa asbabnnuzul.[10]



Metode Pengambilan Riwayat Asbabunnuzul
Apabila terdapat beberapa riwayat yang berbeda tentang asbabunnuzul suatu ayat, maka untuk menyelesaikannya para mufasir mengemukakan beberapa langkah berikut.
1.      Apabila seorang mufasir mengemukakan dua riwayat tentang sebab turunnya ayat, yang pertama dengan tegas dan yang kedua tidak tegas, maka yang diambil adalah riwayat yang menunjukkan ketegasan asbab an-nuzul. Misalnya, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa orang Yahudi menggauli istri dari belakang dan menyebabkan cacat pada anak yang akan lahir. Untuk membantah pendapat tersebut Allah SWT menurunkan surah al-Baqarah (2) ayat 223 (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah). Dalam riwayat imam al-Bukhari dari Abdullah bin ‘Umar (Ibnu ‘Umar) dikatakan bahwa ayat itu diturunkan Allah SWT dalam peristiwa tentang boleh tidaknya menggauli istri dari belakang. Dalam kasus ini, menurut para mufassir, riwayat yang terkuat adalah riwayat yang pertama, yaitu dari Jabir bin ‘Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim kerena ayat tersebut menyatakan ketegasan tentang sebab turunnya ayat itu. Sedangkan riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin ‘Umar hanya berkaitan dengan hukum yang terkandung ayat tersebut.
2.      Apabila salah satu dari riwayat tersebut mempunyai sanad (para penutur hadist) yang shahih, sedangkan sanad yang lain mempunyai sanad yang dlaif (lemah), maka yang diambil adalah riwayat yang pertama (shahih).
3.      Apabila kedua riwayat itu sama-sama mempunyai sanad yang shahih, maka harus dilakukan penelitian yang lebih lanjut. Misalnya, Imam al-Bukhari meriyatkan sebab turunnya surah al-Isra’ (17) ayat 85 dari ‘Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud). Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud berjalan bersama Rasulullah SAW di Madinah. Ketika melewati sekelompok orang Yahudi, orang-orang Yahudi itu mempertanyakan masalah roh kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW menengadahkan tangannya ke atas, kemudian menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi itu dengan firman Allah SWT dalam surah al-Isra’ (17) ayat 85 tersebut. Dalam riwayat at-Tirmizi dari Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dikatakan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah. Ketika itu orang-orang Quraisy menyatakan kepada orang-orang Yahudi, “ Berilah kami suatu pertanyaan yang nanti akan kami tanyakan kepadanya (Muhammad) ”. Orang-orang Yahudi mengatakan, “Tanyakanlah kepadanya tentang masalah roh ”. Kemudian turunlah surah al-Isra’ (17) ayat 85. Dalam kasus seperti ini para mufasir mengambil riwayat pertama karena riwayat Imam al-Bukhari, menurut kesepakatan ulama tafsir dan hadis, lebih kuat dari riwayat at-Tirmizi. Disamping itu ‘Abdullah bin Mas’ud menyaksikan sendiri peristiwa turunnya ayat tersebut.
4.      Apabila kedua riwayat tersebut sama-sama sahih dan waktunya berdekatan, maka para mufasir mengatakan bahwa kedua kasus itulah sebab turunnya ayat tersebut karena keduanya mungkin dikompromikan. Misalnya, riwayat yang menyangkut sebab turunnya surah an-Nur (24) ayat 6. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ayat itu diturunkan dalam kasus Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya berbuat zina dengan Syuraik bin Samha. Riwayat yang lain dari al-Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ayat itu diturunkan dalam kasus Uwaimir yang datang kepada Asim bin Adi, agar Uwaimir menanyakan kepada Rasulullah SAW hukum seseorang yang menjumpai istrinya bersama orang lain (dalam rumah). Para mufasir menyatakan bahwa kedua peristiwa itu dapat dikompromikan, yaitu menetapkan bahwa kasus yang pertama adalah kasus Hilal bin Umaiyah dan yang kedua kasus Uwaimir. Dalam kasus inilah turun ayat tersebut.
5.      Apabila kedua riwayat itu sama-sama sahih dan waktunya berjauhan sehingga tidak dapat dikompromikan, maka para mufasir berpendapat bahwa ayat tersebut turun dua kali.[11]
Faedah Mengetahui Asbabunnuzul
            Sebagian orang berpendapat bahwa mengetahui asbabunnuzul tidak banyak kegunaannya untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an, hal itu hanya semata-mata untuk mengetahui sejarah dan kisah yang berkaitan dengan ayat. Pendapat ini tentu saja tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh dan bertolak belakang dengan pendapat mayoritas mufassirin. Berikut ini adalah ucapan beberapa ulama tentang asbabunnuzul yang sebagaimana yang dinukil oleh Ali As-shabuni dalam At-Tibyan yang diikuti dengan beberapa faedah yang dapat diambil dari asbabunnuzul.
a.       Alwahidi berkata ” لايمكن معرفة تفسير الأية دون الوقوف على قصتها و بيان نزولها “ Tidak mungkin memahami tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan keterangan ( sebab ) turunnya ”. Pendapat ini mungkin berlebihan bila digunakan untuk mengeneralisasi seluruh ayat al-Qur’an, karena faktanya sangat banyak bahkan yang terbanyak adalah bahwa al-Qur’an turun mubtada’an ( permulaan ) semata-mata karena kehendak Allah, tanpa sebab tertentu. Pendapat Alwahidi diatas barang kali tepat untuk kasus ayat-ayat tertentu.
b.      Ibnu Daqiq al-’Ied berkataبيان سبب النزول طريق قوى فى فهم معانى القرآن  “ Keterangan sebab turunnya ayat adlah jalan yang kokoh untuk memahami makna-makna ayat al-Qur’an ”. Pendapat ini sangat proporsional dan logis.
c.       Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata ” معرفة سبب النزول يعين على فهم اآية, فان العلم بالسبب يورث العلم بالمسبب  “ Mengetahui sebab turunnya ayat, akan membantu memahmi ayat tersebut. Karena ilmu tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang musabbab ( akibat ).
Selanjutnya beberapa faedah yang dapat diambil dari asbabu an-nuzul menurut para mufassirin , diantaranya sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui hikmah yang terkandung di balik syariat yang diturunkan
2.      Untuk membantu memahami suatu ayat, sekaligus menghindari munculnya salah persepsi.
3.      Untuk menghindari dugaan adanya pembatasan kandungan ayat (al-hasr) disebabkan al-hasr itu terdapat dalam teks ayat.
4.      Untuk mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sesuai dengan sebab turunnya. Pendapat ini dianut oleh para ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut harus dipahami sesuai dengan sebab khusus yang menyebabkan diturunkannya.
5.      Untuk mengetahui secara pasti peristiwa dan pelaku yang ditunjuk oleh turunnya ayat tersebut sehingga tidak terjadi dugaan beragam tentang kasus yang ditunjuk ayat.
Untuk lebih jelasnya berikut ini diberikan beberapa contoh yang menguatkan pentingnya memahami asbabunnuzul :
1        Ketika Marwan bin Al-Hakam kesulitan memahami Surah Ali ’Imron ayat :  188
لاتحسبن الذين يفرحون بما أتوا و يحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا
فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب   “
 Jangan kalian kira  orang-orang yang bergembira dengan apa-apa yang mereka dapatkan, dan mereka menyenangi untuk dipuji atas apa-apa yang belum mereka kerjakan, janganlah kalian menyangka mereka akan lepas dari siksa …… “ , Marwan berkata “ Apabila setiap orang yang senang dengan apa yang didaptkan serta senang mendapat pujian atas apa yang tidak mereka kerjakan akan diadzab, tentu kita semua akan disiksa “. Kemudian Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini turun mencela ahli kitab ( Yahudi ) yang menyembunyikan berita kebenaran.
2.      Ketika Urwah bin Zubair beranggapan bahwa sa’yi antara shafa dan Marwa tidak    wajib berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 158 :

ان الصفا و المروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما   Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari tanda-tanda agama Allah, maka barangsiapa yang berhajji kebaitullah ( ka’bah ) atau berumrah maka tidak ada dosa baginya untuk bertowaf ( sa’yi ) diantara keduanya “, maka Aisyah meluruskan pemahaman ini, bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan keraguan sebagian sahabat dalam mengerjakan sa’yi karena pada zaman jahiliah orang-orang Quraisy meletakkan berhala isaf di ataas bukit shafa dan nailah di bukit Marwa, mereka enggan bersa’yi karena beranggapan hal itu bagian dari perbuatan jahiliah, maka Allah menurunkan ayat ini dan mewajibkan mereka bersa’yi karena Allah.
3.  Ketika membaca firman Allah surat al-An’am ayat 145 :

قل لا أجد فيما أوحى الى محرما على طاعم يطعمه الا أن يكون ميتة
او دما مسفوحا أو لحم خنزير  فانه رجس أو فسقا أهل لغير الله   
Katakanlah hai Muhammad aku tidak mendapatkan dari apa yang yang diwahyukan kepadaku bahwa sesuatu itu haram hukumnya untuk dimakan oleh orang yang memakannya kecuali bila berupa bangkai, atau darah yang tertumpah, daging babi karena sesungguhnya dia adalah kotor, atau sesuatu yang fasiq dipersembahkan kepada selain Allah … “ Pemahaman langsung yang diberikan ayat tersebut adalah pembatasan hal-hal yang diharamkan agama hanya apa yang disebutkan diatas saja, sedang lainnya halal belaka. Imam Syafi’I menjelaskan bahwa ayat ini sebagai reaksi terhadap sikap orang-orang musyrik yang menghalalkan larangan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah, maka ayat ini membantah dan menyatakan bahwa yang diharamkan Allah adalah apa-apa yang kalian halalkan dan yang dihalalkan Allah adalah apa-apa yang kalian haramkan. Sama sekali tidak menunjukkan batasan hal-hal yang diharamkan Allah, karena dengan melihat dalil lainnya abaik dalam al-Qur’an sendiri maupun dalam hadist-hadist Nabi kita masih akan menemukan banyak hal yang diharamkan Allah untuk dimakan.


Kaedah Yang Terkait Dengan Asbabunnuzul
Ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbabunnuzul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut, yakni:

1.      العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب ( yang menjadi patokan adalah keumuman lafadz, bukan karena sebab yang khusus ), ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama.
2.      العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ ( yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafadz ). Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang khusus harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.
Dalam masalah tersebuat terdapat terdapat perbedaan pendapat dikalangan mufassir dan ahlu ushul fiqh. Menurut jumhur ulama tafsir dan ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah yang pertama, yaitu memahami ayat dengan kuumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya. Implikasinya adalah, walaupun satu atau beberapa ayat diturunkan pada suatu kasus, maka hukumnya berlaku secara umum sesuai dengan kandungan lafalnya, dan berlaku secara luas dalam kasus yang sama. Sebagai contoh adalah ayat dzihar yang turun untuk menjelaskan hukum yang berkaitan dengan ucapan Salmah bin Shakhr, ayat li’an turun dalam perkara Hilal bin Umayyah serta ayat qodzaf atas orang-orang yang menuduh Aisyah, namun kemudian hukum ayat-ayat tersebut diatas berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan seperti mereka.
Adakalanya memang ayat turun karena sebab khusus dan menerangkan tentang seseorang secara khusus, seperti firman Allah “ Dan akan menjauhinya orang yang paling bertaqwa, yang selalu memberikan harta bendanya untuk membersihkan diri “. Menurut para mufasssirin yang dimaksud dalam ayat ini adalah Abu Bakar Asshiddiq, orang yang paling bertaqwa setelah Rasulullah, penggunaan kata ( kalimah ) dalam bentuk makrifah ( dengan alif dan lam ta’rif ) menunjukkan orang tertentu dan itu hanya satu orang yang tidak lain adalah Abu Bakar Asshiddiq. Pendapat ini sangat benar, namun kandungan ajaran dan pesan moral serta keteladanan dalam ayat tersebut berlaku dan bisa diterapkan untuk orang lainnya. Sebagaimana surat Humazah yang turun untuk menjelaskan sifat dan perilaku khusus dari salah seorang musuh nabi, meski demikian pesan ajarannya juga universal. Bahkan surat allahab yang jelas menyebut Abu Lahab, konsekwensi hukumnya tetap berlaku untuk setiap orang yang memerangi Islam, bahwa mereka akan mengalami kecelakaan seperti Abu Lahab.
Tentang keumuman lafadz ini, Jalaluddin al-Suyuthi, mufassir dan faqih madzhab syafi’I, mengemukakan contoh ayat 38 surat al-Ma’idah (5), yang berbicara masalah hukuman bagi pencuri. Menurutnya, ayat ini diturunkan pada kasus seorang wanita yang melakukan pencurian pada zaman Rasulullha SAW, tetapi hukum ayat ini, yaitu potong tangan bagi pencuri berlaku untuk seluruh pencurian.
Sebagian kecil mufassir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufassir kontemporer berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnyam bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini, Ridwan al-Sayyid, tokoh pembaru Mesir, dan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur: (a) peristiwa yang terjadi, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tetapi, selama ini yang sering menjadi pertimbangan dalam kaidah hanya peristiwanya saja tanpa meneliti lebih jauh waktu terjadinya peristiwa tersebut dan kondisi pelaku peristiwa tersebut. Akibatnya, hukum umum yang diambil sering tidak sejalan dengan waktu dan para pelaku peristiwa tersebut. Bagi orang yang melakukan kejahatan pencurian, misalnya, hukum yang diterapkan tidak hanya diterapkan sesuai dengan peristiwa pencurian itu saja, tetapi juga dipelajari secara cermat waktu terjadinya pencurian, dan kondisi pelaku pencurian tersebut. Dengan demikian, ulama yang berpegang pada kaidah al-ibrah bi khususi as-sabab la biumumi al-lafdz berpendapat bahwa dalam menerapkan hukum suatu ayat pada kasus lain dilakukan melalui qias (analogi).
Untuk melakukan analogi ini, M. Quraish Shihab mengemukakan sangat penting dipertimbangkan faktor waktu dan pelaku, di samping peristiwa itu sendiri. Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya dan bahwa kenyataan itu mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat. Oleh sebab itu, dalam memahami suatu ayat, amat penting diteliti waktu terjadinya peristiwa tersebut sehingga analogi yang diterapkan akan relevan dengan tujuan ayat. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pengembangan hukum yang dicakup oleh sebuah ayat umum tidak lagi didasarkan pada keumuman ayat tersebut, tetapi dilakukan melalui qias. Namun demikian, menurutnya, perbedaan pandangan tersebut hanya muncul di kalangan mufassir dalam ayat-ayat yang bersifat umum yang tidak terdapat petunjuk di dalamnya bahwa ayat itu diberlakukan secara khusus. Apabila ada petunjuk yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku secara khusus, maka seluruh mufassir dan ahli usul fiqh sepakat memberlakukan ayat itu pada sebab yang khusus tersebut.[12]
Penutup
            Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa memahami asbabunnuzul tidak bisa dipisahkan dengan kajiana al-Qur’an, terutama untuk mengambil kesimpulan dari ayat-ayat hokum. Namun juga perlu dicatat bahwa sebagian ayat al-Qur’an turun tanpa didahului oleh suatu sebab dan peristiwa teretentu, atau mungkin ada peristiwa yang yang berkaitan namun bermasalah periwayatannya, bisa karena tidak shahih atau mungkin karena tidak lepas dari ta’arudh ( kontradiksi ) dengan riwayat lainnya, sehingga membutuhkan kompromi dan pemilahan riwayat mana yang paling bias dijadikan landasan. Dalam hal ini riwayat-riwayat tentang asababunnuzul masih perlu terus diadakan kajian mendalam, sehingga tidak ada kesan terlalu dipaksakannya beberapa riwayat untuk menjadi asbabunnuzul, seperti yang disampaikan oleh Dr. Shubhi Shaleh.
            Penerapan kaidah al-‘ibratu bi ‘umumillafdzi la bi hushusissaabab, yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafadz dan bukan hanya sebab yang khusus seperti yang diterapkan oleh jumhur ‘ulama memang sangat tepat, karena al-qur’an meskipun turun dengan sebab tertentu, atau berbicara tentang orang tertentu mempunyai fungsi sebagai hidayah bagi semua orang secara universal. Dengan kaidah ini hokum Islam juga bias dikembangkan untuk memecahkan berbagai permasalahan masyarakat yang setiap hari terus bertambah.
            Pengembangan kajian asbabunnuzul dengan melihat aspek lainnya   seperti aspek waktu dan pelaku seperti yang disampaikan oleh Dr. Quraisy Shihab adalah sangat menarik, termasuk juga kajian yang lebih mendalam tentang tahapan tehnis bagaimana suatu ayat hukum bisa diterapkan, seperti dalam kasus ayat potong tangan untuk pencuri, memang perlu mendapat apresiasi dan ruang yang lapang, selama hal itu tidak mengarah kepada pembelokan makna ayat yang sudah sangat jelas ( sharih ) atau bahkan membatalkannya dengan memaksakan pemahaman yang dianggap lebih humanis dan manusiawi. Beberapa ahli tafsir kontemporer menafsirkan potong tangan dengan tidak memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mencuri, dengan pengambilan wewenang yang sebelumnya dia miliki, sementara sebagian lagi memberikan syarat-syarat yang begitu rumit sehingga hukum potong tangan mustahil akan diterapkan, saking sulitnya untuk memenuhi persyaratan tadi. Segala sesuatu yang bersifat preventif memang selaras dengan spirit ajaran Islam, segala sesuatunya harus dikondisikan bagaimana pencurian tidak terjadi, namun bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur mencuri, tidak bisa tidak hukum potong tangan harus diterapkan, bila ingin kebenaran dan keadilan ditegakkan. Barangkali penerapan hukum potong tangan akan bisa menjadi obat mujarab untuk pemberantasan korupsi yang sudah menjadi penyakit akut di masyarakat kita




[1] Muhammad Ali Al-Shabuni.  Al-Tibyan Fi ‘Ulumil Qur’an. Cetakan III. Makkah : CV Sayyid Hasan Abbas Syarbatli 1980 ). Hal. 17.
[2] Ibid
[3] Jalaluddin Al-Suyuthi Al-Syafi’i. Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an. Darul Fikri. Bairut. Hal. 29.
[4] Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zarqani. Manahilul ‘Irfan Fi ‘Ulumil Qur’an. Darul Fikri. Bairut. Hal. 106.
[5] Manna’ Al-Qhatthan. Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an. Mansyurat al-Ashri al-Hadits. Riyadl. 1973. Hal. 77.
[6] Dr. Shubhi Shaleh. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Alih bahasa. Cetakan III. 1992. Pustaka Firdaus. Jakarta. Hal. 201.
[7] Al-Zarqani. Op.cit. Hal. 106.
[8] Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an.Cetakan VII. 1994. Mizan. Bandung. Hal. 89.
[9] Surah Al-Ahzab ayat 53.
[10] Al-Shabuni. Op.cit. Hal. 23.
[11] Dirangkum dari Al-Tibyan lisshabuni dan Mabahits lilqatthan dan al-Burhan lizzarkasyi.
[12] Quraish Shihab. Op.cit. Hal. 89 – 90




.