Jumat, 08 Maret 2013

KUMPULAN MAKALAH ULUMUL QUR'AN ( ASBABUNNUZUL )


Muqaddimah
Add caption




            Ilmu sebab turunnya al-Qur’an adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulumul Qur’an. Para penulis yang berkompeten dalam bidang ini, semisal Al-Suyuthi dengan al-Itqon, Al-Zarkasyi dengan Al-Burhan, Al-Zarqoni dengan Manahilul ‘Irfan, hingga Manna’ Qotthan dengan Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an, serta para penulis kontemporer,  semuanya memasukan bahasan khusus tentang asbabunnuzul.
            Kajian tentang asbabunnuzul adalah bentuk dari analisis sejarah al-Qur’an, sebagai upaya untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dari kontek kesejarahan,  yakni peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya ayat, dengan berbagai macam ragamnya. Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan peristiwa tertentu, harus difahami dengan mengaitkan latar belakang peristiwanya, hal ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Meskipun yang lebih banyak adalah ayat-ayat al-Qur’an yang turun tanpa didahului oleh sebab tertentu.
Sejak zaman sahabat pengetahuan tentang asbabunnuzul dipandang sangat penting untuk bisa memahami penafsiran al-Qur’an yang benar, karena itu mereka berusaha untuk mempelajari ilmu ini. Mereka bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang sebab-sebab turunnya ayat, atau kepada sahabat lainnya yang menjadi saksi sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pula para tabi’in yang datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum, mereka memerlukan pengetahuan asbabunnuzul agar tidak salah dalam mengambil istimbath (kesimpulan).
            Mengetahui asbabunnuzul berpengaruh besar terhadap pemahaman makna ayat-ayat al-Qur’an, bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin bisa difahami dengan benar tanpa mengetahui asbabunnuzul[1]. Seperti firman Allah dalan suart Al-Baqarah ayat : 115 yang berbunyi:
ولله المشرق و المغرب فأينما تولوا فثم وجه الله  “

 “ Dan bagi Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kalian memalingkan muka, maka disana pula wajah Allah “. Bila difahami secara lahiriah, akan disimpulkan bahwa shalat ke arah mana saja tanpa menghadap kiblat dibenarkan. Tentu saja ini merupakan pemahaman yang salah, karena menghadap kiblat merupakan salah satu syarat syahnya shalat, tetapi dengan memahami sebab turunnya ayat, akan menjadi jelas bahwa ayat ini diperuntukkan bagi musafir yang tidak mengetahui arah kiblat, setelah berijtihad dan menunaikan shalat ia baru menyadari kesalahannya, dalam kasus demikian shalatnya tetap syah dan dia tidak berkewajiban untuk mengulangi shalatnya. Atau bagi musafir yang menunaikan shalat sunnah dalam keadaan naik kendaraan.
            Contoh lain yang membuktikan pentingnya asbabunnuzul ini adalah firman Allahdalam suart Al-Ma’idah ayat : 93 yang berbunyi :
ليس على الذين آمنوا و عملوا الصالحات جناح فيما طعموا اذا ما اتقوا و آمنوا
و عملوا الصالحات ثم اتقوا و آمنوا ثم اتقوا و أحسنوا و الله يحب المحسنين "
“ Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal shaleh terhadap apa-apa yang mereka makan jika mereka bertaqwa dan beriman serta beramal shaleh, kemudian mereka bertaqwa dan beriman, kemudian mereka bertaqwa dan berbuat kebaikan, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan ”.
Tanpa memahami asbabunnuzul orang akan beranggapan bahwa minum khomer diperbolehkan bagi orang beriman, padahal hukumnya sudah jelas haram. Ayat diatas turun sebagai jawaban atas rasa penasaaran sebagian sahabat tentang nasib sebagian sahabat yang sudah wafat sementara mereka diketahui terbiasa menkonsumsi khomer. Maka Allah menjelaskan bahwa perbuatan mereka (minum khomer ) sebelum Islam atau sebelum diharamkannya khomer tidak berdosa dan sudah dimaafkan.[2]
            Karena pentingnya asbabunnuzul ini banyak ulama yang menaruh perhatian khusus dalam kajian ini, bahkan sebagian mereka menulis buku khusus tentang asbabunnuzul seperti Ali bin Al-Madini, gurunya Imam Bukhori, kemudian al-Wahidi menulis kitab asbabunnuzul, kitab ini kemudian dirangkum oleh  al-Ja’bari dengan menghilangkan sanad-sanad hadistnya, tetapi tanpa mengurangi ataupun menambah isinya. Demikian pula Syaikhul Islam  Ibnu Hajar, sayangnya buku beliau tidak sampai kepada kita dengan lengkap, dan yang paling populer adalah Al-Suyuthi dengan kitabnya ” Lubabunnuqul fi asbabinnuzul ”.[3]
Studi kritis yang dilakukan para pakar terhadap buku-buku asababunnuzul ini memang meninggalkan catatan, bahwa banyak riwayat dalam asbabunnuzul yang perlu ditakhrij kembali, untuk mengetahui kekuatan validitas riwayat tersebut dari Nabi SAW. Disamping juga dirasakan adanya pemaksaan yang berlebihan dalam menerapkan sebab musabab akan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Meski demikian, karya ulama yang menumental tersebut tetaplah sangat berharga karena telah menghantarkan kita memahami pengertian ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan peristiwa dan fakta-fakta sejarah yang melatarbelakanginya.
            Dalam tulisan sederhana berikut ini akan diuraikan secara ringkas beberapa bahasan yang berkaitan dengan asbabunnuzul, yaitu : 1. Pengertian asbabunnuzul. 2. Bentuk peristiwa yang menjadi asbabunnuzul. 3. Cara mengetahui asbabunnuzul. 4. Metode penganbilan riwayat asbabunnuzul. 5. Faedah mengetahui asbabunnuzul. Dan  5. Beberapa kaidah yang berkaitan dengan asbabunnuzul.
Pengertian Asbabunnuzul
Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, ahli ilmu tafsir, mendefinisikan asbabunnuzul sebagai suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang setelah itu turun ayat membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa tersebut.[4] Definisi yang berdekatan disampaikan oleh Manna’ Al-Qatthan ” Asbabunnuzul adalah suatu hal yang karenanya Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum ) nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.[5] Dr. Shubhi Shaleh mendefinisikan asbabunnuzul sebagai suatu perkara yang menyebabkan turunnya ayat, baik berupa jawaban, atau sebagai penejelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[6] Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa asbabunnuzul adalah : Apa-apa yang diturunkan dalam al-Qur’an berupa jawaban atau keterangan mengenai persoalan maupun peristiwa.
Menurut Al-Zarqoni dan Al-Ja’bari,  dilihat dari segi peristiwa yang terkait, maka turunnnya ayat Al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1.      Ayat yang diturunkan mubtada’an - tanpa ada peristiwa yang terjadi ketika ayat itu diturunkan oleh Allah SWT. Turunnya ayat atau beberapa ayat ini semata-mata merupakan petunjuk Allah SWT kepada manusia. Kehendak-Nya untuk memberi petunjuk kepada manusia inilah yang menjadi asbabunnuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Walaupun tidak atau belum diketahui konteks peristiwa turunnya ayat itu dalam sejarah. Ayat-ayat dalam kategori ini lebih banyak jumlahnya, terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip keimanan, keislaman dan akhlak yang luhur.
2.      Ayat yang diturunkan Allah SWT berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu.[7] Ayat seperti ini jumlahnya tidak banyak. Misalnya, Allah SWT menurunkan surah al-Nisa’ (4) untuk menjelaskan berbagai kasus yang berhubungan dengan kaum wanita, surah al-Anfal (8) untuk menjelaskan berbagai persoalan yang berkaitan dengan perang, atau surah Al-Tholaq (65) yang membicarakan masalah yang berkaitan dengan talak. Biasanya setelah terjadi suatu peristiwa, maka disusul kemudian dengan turunnya satu atau beberapa ayat yang membicarakan masalah yang berkait dengan peristiwa tersebut. Peristiwa yang terjadi sebelum atau pada saat turunnya ayat ini oleh para mufassir disebut juga sebagai asbabunnuzul. Karena ayat-ayat tersebut hanya diturunkan kepada Rasulullah SAW, maka asbabunnuzul tersebut hanyalah kasus yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat dan Al-Qur’an telah diturunkan secara sempurna (QS.5:3), maka masalah asbabu an-nuzul tidak ada lagi.
Bila kita menelaah buku-buku tafsir akan kita temukan banyak keterangan peristiwa dan kisah-kisah zaman dahulu yang dihubungkan dengan ayat-ayat tertertu, hal itu menurut Ibnu Taimiyah bukan termasuk asbabunnuzul, tetapi sekedar penjelasan dari al-Qur’an akan peristiwa yang terdahulu untuk dijadikan ibrah dan pelajaran bagi ummat manusia.
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, pakar tafsir di Indonesia, asbabunnuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka ayat itu tidak akan turun. Pemakaian kata asbab bukanlah dalam arti yang sebenarnya. Tanpa adanya suatu peristiwa, Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah SWT sesuai dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti turunnya ayat Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena Al-Qur’an tidak berbentuk fisik atau materi. Pengertian turun menurut para mufassir, mangandung pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT kepada utusan-Nya, Muhammad SAW, dari alam ghaib ke alam nyata melalui malaikat Jibril.[8]

Bentuk Peristiwa Yang Menjadi Asbabunnuzul
Peristiwa yang terjadi sebelum atau pada saat turunnya suatu ayat atau beberapa ayat tersebut, diantaranya bisa terbentuk sebagai berikut:
1.      Adanya perselisihan diantara shahabat yang perlu segera diselesaikan, seperti pertengkaran yang terjadi antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj di Madinah akibat hasutan licik Syas bin Qaisy, seorang yahudi Madinah, hingga mereka saling berteriak untuk mengangkat senjata. Dalam kasus ini Allah menurunkan surah Ali Imran (3) ayat 100.
 ياأيها الذين آمنوا ان تطيعوا فريقا من الذين أوتوا الكتاب يردوكم بعد ايمانكم كافرين
“ Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mentaati sebagian dari ahli kitab, niscaya akan mengembalikan kalian setelah iman ke dalam kekufuran “.
2.      Terjadinya suatu kekeliruan akibat suatu perbuatan dosa, seperti seorang sahabat yang menjadi imam shalat dalam keadaan mabuk sehingga ia keliru dalam membaca ayat 2 surah al-Kafirun (109). Ayat tersebut semestinya berbunyi: “la a’budu ma ta’budun, (saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah)”. Tetapi ketika menjadi imam sahabat itu membaca: “a’budu ma ta’budun, (saya menyembah apa yang kalian sembah)”. Kekeliruannya adalah tidak membaca kata la. Dalam kasus ini turunlah surah al-Nisa’ (4) ayat 43.
ياأيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة و أنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ( الآية )
“ Wahai oang-orang yang beriman janganlah kalian shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. ( al-ayat )
3.      Harapan dan keinginan yang diajukan oleh sebagian sahabat yang kemudian Allah meneurunkan ayat yang isinya persis seperti harapan yang diajukan tersebut. Dalam hal ini yang terkenal adalah ‘Umar bin Khotthab dengan muwafaqatnya. Ketika berada di Maqam Ibrahim, ‘Umar mengajukan usulan kepada Rasululah SAW agar tempat tersebut dijadikan  mushalla, Allah kemudian menurunkan surat Al-Baqarah ayat 125  :
 واتخذوا من مقام ابراهيم مصلى
Dan jadikanlah dari maqam Ibrahim sebagai tempat shalat “.
Ketika ‘Umar mengususlkan agar istri-istri nabi berada ditempat yang lebih tertutup, disebabkan tidak semua orang yang berhubungan dengan mereka berkepribadian baik, maka Allah kemudian menurunkan ayat hijab.[9] Ketika para istri Rasul sepakat meminta tambahan nafakah, hal mana dirasa sangat memberatkan Rasulullah SAW, maka ‘Umar berkata kepada mereka  :
عسى ربه ان طلقكن ان يبدله أزواجا خيرا منكن

“ Semoga Tuhannya ( Allah ) jika ( nabi ) menceraikan kalian, akan menggantikan baginya istri-istri yang lebih baik dari kalian “, ayat al-Qur’an pun kemudian turun persis dengan lafadz ucapan ‘Umar tersebut ( Surah Al-tahrim ayat 5 ). Dan masih banyak lagi turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang dihubungkan dengan ‘Umar bin Khatthab, hingga sebagian ulama ada yang menulis buku husus tentang muwafaqat ‘Umar dengan wahyu, dan karena itu pula maka Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan kebenaran di lidah ‘umar bin Khatthab r.a.
4.      Pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa yang diajukan kepada Rasullulah, baik peristiwa masa lalu, yang sedang terjadi, maupun yang akan datang. Misalnya, Allah menurunkan surah al-Kahfi (18) ayat 83 tentang Dzul qornain ketika pertnayaan masa lalu diajukan kepada Rasulullah SAW; Allah menurunkan surah al-Nazi’at (79) ayat 42 yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah SAW tentang masa yang akan datang, yaitu hari kiamat; dan Allah menurunkan surah al-Isra’ (17) ayat 85 yang berkaitan dengan pertanyaan tentang masalah roh yang diajukan kapada Rasulullah SAW. Disamping itu ada pula ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT untuk menjawab pertanyaan yang masih akan diajukan kepada Rasulullah SAW. Maksudnya, pada saat ini pertanyaan itu belum muncul, tetapi pada saat yang akan datang akan dipertanyakan kepada Rasulullah SAW. Diantara ayat yang diturunkan Allah SWT mendahului pertanyaan yang akan diajukan kepada Rasulullah SAW adalah surah Taha (20) ayat 105, tentang orang-orang kafir yang menanyakan keadaan gunung-gunung di hari kiamat.

Cara Mengetahui Asbab an-Nuzul
Para ahli ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulumul Qur’an) menyatakan bahwa karena Asbab an-Nuzul adalah peristwa-peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah SAW. Maka untuk mengetahui Asbab an-Nuzul harus melakukan periwayatan yang shahih dari para sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung peristiwa yang berhubungan dengan turunya ayat-ayat tertentu atau melalui para ahli yang telah melakukan penelitian dengan cermat, baik dari kalangan tabi’in maupun ulama-ulama lainnya yang dapat dipercaya. Dalam hal ini Ibnu Sirin berkata “ Aku bertanya kepada ‘Ubaidah tentang satu ayat dari al-Qur’an, maka beliau berkata “ Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, orang-orang yang mengetahui dalam hal apa ayat-ayat al-Qur’an diturunkan Allah telah pada meninggal “, maksudnya bahwa memahami asbabunnuzul tidak bisa semata-mata dengan logika, tetapi hanya dengan mengetahui riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Disini kita juga menangkap sikap kehati-hatian generasi salaf dalam menerima rawayat hadist, hususnya yang berkaitan dengan asbabunnuzul, agar terhindar dari riwayat yang palsu.
Cara mengetahui Asbabunnuzul melalui periwayatan yang sahih tersebut terkadang dapat dilihat dai ungkapan perawi yang mengatakan, “sabab nuzul al-ayah kadza” (sebab turunnya ayat demikian). Ada kalanya asbabunnuzul tidak diungkap dengan kata sabab (sebab­), tetapi diungkapkan dengan kalimat “fa nazalat” (lalu turun ayat). Misalnya perawi mengatakan “su’ila an-nabiy salla Allah ‘alaihi wa sallam ‘an kadza, fa nazalat…..(Nabi SAW ditanya tentang suatu hal, lalu turun ayat…)”.
Selain itu, terkadang perawi mengungkapkan asbab an-nuzul dengan pernyataan, “nuzilat hazihil ayah fi kadza (ayat ini diturunkan dengan kasus demikian), Menurut jumhur ulama tafsir, apabila ungkapan perawi demikian, maka itu merupakan peryataan yang tegas dan dapat diprcaya sebagai asbabnnuzul satu atau beberapa ayat al-Qur’an. Akan tetapi Ibnu Taymiyah, fakih dan mifassir Mazhab Hanbali, berpendapat bahwa ungkapan “nuzilat hadzihi ayah fi kadza” terkadang menyatakan sebab turunya ayat, namun terkadang juga menunjukkan kandungan ayat yang diturunkan tanpa asbabnnuzul.[10]



Metode Pengambilan Riwayat Asbabunnuzul
Apabila terdapat beberapa riwayat yang berbeda tentang asbabunnuzul suatu ayat, maka untuk menyelesaikannya para mufasir mengemukakan beberapa langkah berikut.
1.      Apabila seorang mufasir mengemukakan dua riwayat tentang sebab turunnya ayat, yang pertama dengan tegas dan yang kedua tidak tegas, maka yang diambil adalah riwayat yang menunjukkan ketegasan asbab an-nuzul. Misalnya, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa orang Yahudi menggauli istri dari belakang dan menyebabkan cacat pada anak yang akan lahir. Untuk membantah pendapat tersebut Allah SWT menurunkan surah al-Baqarah (2) ayat 223 (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah). Dalam riwayat imam al-Bukhari dari Abdullah bin ‘Umar (Ibnu ‘Umar) dikatakan bahwa ayat itu diturunkan Allah SWT dalam peristiwa tentang boleh tidaknya menggauli istri dari belakang. Dalam kasus ini, menurut para mufassir, riwayat yang terkuat adalah riwayat yang pertama, yaitu dari Jabir bin ‘Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim kerena ayat tersebut menyatakan ketegasan tentang sebab turunnya ayat itu. Sedangkan riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin ‘Umar hanya berkaitan dengan hukum yang terkandung ayat tersebut.
2.      Apabila salah satu dari riwayat tersebut mempunyai sanad (para penutur hadist) yang shahih, sedangkan sanad yang lain mempunyai sanad yang dlaif (lemah), maka yang diambil adalah riwayat yang pertama (shahih).
3.      Apabila kedua riwayat itu sama-sama mempunyai sanad yang shahih, maka harus dilakukan penelitian yang lebih lanjut. Misalnya, Imam al-Bukhari meriyatkan sebab turunnya surah al-Isra’ (17) ayat 85 dari ‘Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud). Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud berjalan bersama Rasulullah SAW di Madinah. Ketika melewati sekelompok orang Yahudi, orang-orang Yahudi itu mempertanyakan masalah roh kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW menengadahkan tangannya ke atas, kemudian menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi itu dengan firman Allah SWT dalam surah al-Isra’ (17) ayat 85 tersebut. Dalam riwayat at-Tirmizi dari Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dikatakan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah. Ketika itu orang-orang Quraisy menyatakan kepada orang-orang Yahudi, “ Berilah kami suatu pertanyaan yang nanti akan kami tanyakan kepadanya (Muhammad) ”. Orang-orang Yahudi mengatakan, “Tanyakanlah kepadanya tentang masalah roh ”. Kemudian turunlah surah al-Isra’ (17) ayat 85. Dalam kasus seperti ini para mufasir mengambil riwayat pertama karena riwayat Imam al-Bukhari, menurut kesepakatan ulama tafsir dan hadis, lebih kuat dari riwayat at-Tirmizi. Disamping itu ‘Abdullah bin Mas’ud menyaksikan sendiri peristiwa turunnya ayat tersebut.
4.      Apabila kedua riwayat tersebut sama-sama sahih dan waktunya berdekatan, maka para mufasir mengatakan bahwa kedua kasus itulah sebab turunnya ayat tersebut karena keduanya mungkin dikompromikan. Misalnya, riwayat yang menyangkut sebab turunnya surah an-Nur (24) ayat 6. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ayat itu diturunkan dalam kasus Hilal bin Umayah yang menuduh istrinya berbuat zina dengan Syuraik bin Samha. Riwayat yang lain dari al-Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ayat itu diturunkan dalam kasus Uwaimir yang datang kepada Asim bin Adi, agar Uwaimir menanyakan kepada Rasulullah SAW hukum seseorang yang menjumpai istrinya bersama orang lain (dalam rumah). Para mufasir menyatakan bahwa kedua peristiwa itu dapat dikompromikan, yaitu menetapkan bahwa kasus yang pertama adalah kasus Hilal bin Umaiyah dan yang kedua kasus Uwaimir. Dalam kasus inilah turun ayat tersebut.
5.      Apabila kedua riwayat itu sama-sama sahih dan waktunya berjauhan sehingga tidak dapat dikompromikan, maka para mufasir berpendapat bahwa ayat tersebut turun dua kali.[11]
Faedah Mengetahui Asbabunnuzul
            Sebagian orang berpendapat bahwa mengetahui asbabunnuzul tidak banyak kegunaannya untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an, hal itu hanya semata-mata untuk mengetahui sejarah dan kisah yang berkaitan dengan ayat. Pendapat ini tentu saja tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh dan bertolak belakang dengan pendapat mayoritas mufassirin. Berikut ini adalah ucapan beberapa ulama tentang asbabunnuzul yang sebagaimana yang dinukil oleh Ali As-shabuni dalam At-Tibyan yang diikuti dengan beberapa faedah yang dapat diambil dari asbabunnuzul.
a.       Alwahidi berkata ” لايمكن معرفة تفسير الأية دون الوقوف على قصتها و بيان نزولها “ Tidak mungkin memahami tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan keterangan ( sebab ) turunnya ”. Pendapat ini mungkin berlebihan bila digunakan untuk mengeneralisasi seluruh ayat al-Qur’an, karena faktanya sangat banyak bahkan yang terbanyak adalah bahwa al-Qur’an turun mubtada’an ( permulaan ) semata-mata karena kehendak Allah, tanpa sebab tertentu. Pendapat Alwahidi diatas barang kali tepat untuk kasus ayat-ayat tertentu.
b.      Ibnu Daqiq al-’Ied berkataبيان سبب النزول طريق قوى فى فهم معانى القرآن  “ Keterangan sebab turunnya ayat adlah jalan yang kokoh untuk memahami makna-makna ayat al-Qur’an ”. Pendapat ini sangat proporsional dan logis.
c.       Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata ” معرفة سبب النزول يعين على فهم اآية, فان العلم بالسبب يورث العلم بالمسبب  “ Mengetahui sebab turunnya ayat, akan membantu memahmi ayat tersebut. Karena ilmu tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang musabbab ( akibat ).
Selanjutnya beberapa faedah yang dapat diambil dari asbabu an-nuzul menurut para mufassirin , diantaranya sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui hikmah yang terkandung di balik syariat yang diturunkan
2.      Untuk membantu memahami suatu ayat, sekaligus menghindari munculnya salah persepsi.
3.      Untuk menghindari dugaan adanya pembatasan kandungan ayat (al-hasr) disebabkan al-hasr itu terdapat dalam teks ayat.
4.      Untuk mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sesuai dengan sebab turunnya. Pendapat ini dianut oleh para ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut harus dipahami sesuai dengan sebab khusus yang menyebabkan diturunkannya.
5.      Untuk mengetahui secara pasti peristiwa dan pelaku yang ditunjuk oleh turunnya ayat tersebut sehingga tidak terjadi dugaan beragam tentang kasus yang ditunjuk ayat.
Untuk lebih jelasnya berikut ini diberikan beberapa contoh yang menguatkan pentingnya memahami asbabunnuzul :
1        Ketika Marwan bin Al-Hakam kesulitan memahami Surah Ali ’Imron ayat :  188
لاتحسبن الذين يفرحون بما أتوا و يحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا
فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب   “
 Jangan kalian kira  orang-orang yang bergembira dengan apa-apa yang mereka dapatkan, dan mereka menyenangi untuk dipuji atas apa-apa yang belum mereka kerjakan, janganlah kalian menyangka mereka akan lepas dari siksa …… “ , Marwan berkata “ Apabila setiap orang yang senang dengan apa yang didaptkan serta senang mendapat pujian atas apa yang tidak mereka kerjakan akan diadzab, tentu kita semua akan disiksa “. Kemudian Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini turun mencela ahli kitab ( Yahudi ) yang menyembunyikan berita kebenaran.
2.      Ketika Urwah bin Zubair beranggapan bahwa sa’yi antara shafa dan Marwa tidak    wajib berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 158 :

ان الصفا و المروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما   Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari tanda-tanda agama Allah, maka barangsiapa yang berhajji kebaitullah ( ka’bah ) atau berumrah maka tidak ada dosa baginya untuk bertowaf ( sa’yi ) diantara keduanya “, maka Aisyah meluruskan pemahaman ini, bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan keraguan sebagian sahabat dalam mengerjakan sa’yi karena pada zaman jahiliah orang-orang Quraisy meletakkan berhala isaf di ataas bukit shafa dan nailah di bukit Marwa, mereka enggan bersa’yi karena beranggapan hal itu bagian dari perbuatan jahiliah, maka Allah menurunkan ayat ini dan mewajibkan mereka bersa’yi karena Allah.
3.  Ketika membaca firman Allah surat al-An’am ayat 145 :

قل لا أجد فيما أوحى الى محرما على طاعم يطعمه الا أن يكون ميتة
او دما مسفوحا أو لحم خنزير  فانه رجس أو فسقا أهل لغير الله   
Katakanlah hai Muhammad aku tidak mendapatkan dari apa yang yang diwahyukan kepadaku bahwa sesuatu itu haram hukumnya untuk dimakan oleh orang yang memakannya kecuali bila berupa bangkai, atau darah yang tertumpah, daging babi karena sesungguhnya dia adalah kotor, atau sesuatu yang fasiq dipersembahkan kepada selain Allah … “ Pemahaman langsung yang diberikan ayat tersebut adalah pembatasan hal-hal yang diharamkan agama hanya apa yang disebutkan diatas saja, sedang lainnya halal belaka. Imam Syafi’I menjelaskan bahwa ayat ini sebagai reaksi terhadap sikap orang-orang musyrik yang menghalalkan larangan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah, maka ayat ini membantah dan menyatakan bahwa yang diharamkan Allah adalah apa-apa yang kalian halalkan dan yang dihalalkan Allah adalah apa-apa yang kalian haramkan. Sama sekali tidak menunjukkan batasan hal-hal yang diharamkan Allah, karena dengan melihat dalil lainnya abaik dalam al-Qur’an sendiri maupun dalam hadist-hadist Nabi kita masih akan menemukan banyak hal yang diharamkan Allah untuk dimakan.


Kaedah Yang Terkait Dengan Asbabunnuzul
Ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbabunnuzul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut, yakni:

1.      العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب ( yang menjadi patokan adalah keumuman lafadz, bukan karena sebab yang khusus ), ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama.
2.      العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ ( yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafadz ). Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang khusus harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.
Dalam masalah tersebuat terdapat terdapat perbedaan pendapat dikalangan mufassir dan ahlu ushul fiqh. Menurut jumhur ulama tafsir dan ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah yang pertama, yaitu memahami ayat dengan kuumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya. Implikasinya adalah, walaupun satu atau beberapa ayat diturunkan pada suatu kasus, maka hukumnya berlaku secara umum sesuai dengan kandungan lafalnya, dan berlaku secara luas dalam kasus yang sama. Sebagai contoh adalah ayat dzihar yang turun untuk menjelaskan hukum yang berkaitan dengan ucapan Salmah bin Shakhr, ayat li’an turun dalam perkara Hilal bin Umayyah serta ayat qodzaf atas orang-orang yang menuduh Aisyah, namun kemudian hukum ayat-ayat tersebut diatas berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan seperti mereka.
Adakalanya memang ayat turun karena sebab khusus dan menerangkan tentang seseorang secara khusus, seperti firman Allah “ Dan akan menjauhinya orang yang paling bertaqwa, yang selalu memberikan harta bendanya untuk membersihkan diri “. Menurut para mufasssirin yang dimaksud dalam ayat ini adalah Abu Bakar Asshiddiq, orang yang paling bertaqwa setelah Rasulullah, penggunaan kata ( kalimah ) dalam bentuk makrifah ( dengan alif dan lam ta’rif ) menunjukkan orang tertentu dan itu hanya satu orang yang tidak lain adalah Abu Bakar Asshiddiq. Pendapat ini sangat benar, namun kandungan ajaran dan pesan moral serta keteladanan dalam ayat tersebut berlaku dan bisa diterapkan untuk orang lainnya. Sebagaimana surat Humazah yang turun untuk menjelaskan sifat dan perilaku khusus dari salah seorang musuh nabi, meski demikian pesan ajarannya juga universal. Bahkan surat allahab yang jelas menyebut Abu Lahab, konsekwensi hukumnya tetap berlaku untuk setiap orang yang memerangi Islam, bahwa mereka akan mengalami kecelakaan seperti Abu Lahab.
Tentang keumuman lafadz ini, Jalaluddin al-Suyuthi, mufassir dan faqih madzhab syafi’I, mengemukakan contoh ayat 38 surat al-Ma’idah (5), yang berbicara masalah hukuman bagi pencuri. Menurutnya, ayat ini diturunkan pada kasus seorang wanita yang melakukan pencurian pada zaman Rasulullha SAW, tetapi hukum ayat ini, yaitu potong tangan bagi pencuri berlaku untuk seluruh pencurian.
Sebagian kecil mufassir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufassir kontemporer berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnyam bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini, Ridwan al-Sayyid, tokoh pembaru Mesir, dan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur: (a) peristiwa yang terjadi, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tetapi, selama ini yang sering menjadi pertimbangan dalam kaidah hanya peristiwanya saja tanpa meneliti lebih jauh waktu terjadinya peristiwa tersebut dan kondisi pelaku peristiwa tersebut. Akibatnya, hukum umum yang diambil sering tidak sejalan dengan waktu dan para pelaku peristiwa tersebut. Bagi orang yang melakukan kejahatan pencurian, misalnya, hukum yang diterapkan tidak hanya diterapkan sesuai dengan peristiwa pencurian itu saja, tetapi juga dipelajari secara cermat waktu terjadinya pencurian, dan kondisi pelaku pencurian tersebut. Dengan demikian, ulama yang berpegang pada kaidah al-ibrah bi khususi as-sabab la biumumi al-lafdz berpendapat bahwa dalam menerapkan hukum suatu ayat pada kasus lain dilakukan melalui qias (analogi).
Untuk melakukan analogi ini, M. Quraish Shihab mengemukakan sangat penting dipertimbangkan faktor waktu dan pelaku, di samping peristiwa itu sendiri. Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya dan bahwa kenyataan itu mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat. Oleh sebab itu, dalam memahami suatu ayat, amat penting diteliti waktu terjadinya peristiwa tersebut sehingga analogi yang diterapkan akan relevan dengan tujuan ayat. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa pengembangan hukum yang dicakup oleh sebuah ayat umum tidak lagi didasarkan pada keumuman ayat tersebut, tetapi dilakukan melalui qias. Namun demikian, menurutnya, perbedaan pandangan tersebut hanya muncul di kalangan mufassir dalam ayat-ayat yang bersifat umum yang tidak terdapat petunjuk di dalamnya bahwa ayat itu diberlakukan secara khusus. Apabila ada petunjuk yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku secara khusus, maka seluruh mufassir dan ahli usul fiqh sepakat memberlakukan ayat itu pada sebab yang khusus tersebut.[12]
Penutup
            Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa memahami asbabunnuzul tidak bisa dipisahkan dengan kajiana al-Qur’an, terutama untuk mengambil kesimpulan dari ayat-ayat hokum. Namun juga perlu dicatat bahwa sebagian ayat al-Qur’an turun tanpa didahului oleh suatu sebab dan peristiwa teretentu, atau mungkin ada peristiwa yang yang berkaitan namun bermasalah periwayatannya, bisa karena tidak shahih atau mungkin karena tidak lepas dari ta’arudh ( kontradiksi ) dengan riwayat lainnya, sehingga membutuhkan kompromi dan pemilahan riwayat mana yang paling bias dijadikan landasan. Dalam hal ini riwayat-riwayat tentang asababunnuzul masih perlu terus diadakan kajian mendalam, sehingga tidak ada kesan terlalu dipaksakannya beberapa riwayat untuk menjadi asbabunnuzul, seperti yang disampaikan oleh Dr. Shubhi Shaleh.
            Penerapan kaidah al-‘ibratu bi ‘umumillafdzi la bi hushusissaabab, yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafadz dan bukan hanya sebab yang khusus seperti yang diterapkan oleh jumhur ‘ulama memang sangat tepat, karena al-qur’an meskipun turun dengan sebab tertentu, atau berbicara tentang orang tertentu mempunyai fungsi sebagai hidayah bagi semua orang secara universal. Dengan kaidah ini hokum Islam juga bias dikembangkan untuk memecahkan berbagai permasalahan masyarakat yang setiap hari terus bertambah.
            Pengembangan kajian asbabunnuzul dengan melihat aspek lainnya   seperti aspek waktu dan pelaku seperti yang disampaikan oleh Dr. Quraisy Shihab adalah sangat menarik, termasuk juga kajian yang lebih mendalam tentang tahapan tehnis bagaimana suatu ayat hukum bisa diterapkan, seperti dalam kasus ayat potong tangan untuk pencuri, memang perlu mendapat apresiasi dan ruang yang lapang, selama hal itu tidak mengarah kepada pembelokan makna ayat yang sudah sangat jelas ( sharih ) atau bahkan membatalkannya dengan memaksakan pemahaman yang dianggap lebih humanis dan manusiawi. Beberapa ahli tafsir kontemporer menafsirkan potong tangan dengan tidak memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mencuri, dengan pengambilan wewenang yang sebelumnya dia miliki, sementara sebagian lagi memberikan syarat-syarat yang begitu rumit sehingga hukum potong tangan mustahil akan diterapkan, saking sulitnya untuk memenuhi persyaratan tadi. Segala sesuatu yang bersifat preventif memang selaras dengan spirit ajaran Islam, segala sesuatunya harus dikondisikan bagaimana pencurian tidak terjadi, namun bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur mencuri, tidak bisa tidak hukum potong tangan harus diterapkan, bila ingin kebenaran dan keadilan ditegakkan. Barangkali penerapan hukum potong tangan akan bisa menjadi obat mujarab untuk pemberantasan korupsi yang sudah menjadi penyakit akut di masyarakat kita




[1] Muhammad Ali Al-Shabuni.  Al-Tibyan Fi ‘Ulumil Qur’an. Cetakan III. Makkah : CV Sayyid Hasan Abbas Syarbatli 1980 ). Hal. 17.
[2] Ibid
[3] Jalaluddin Al-Suyuthi Al-Syafi’i. Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an. Darul Fikri. Bairut. Hal. 29.
[4] Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zarqani. Manahilul ‘Irfan Fi ‘Ulumil Qur’an. Darul Fikri. Bairut. Hal. 106.
[5] Manna’ Al-Qhatthan. Mabahits Fi ‘Ulumil Qur’an. Mansyurat al-Ashri al-Hadits. Riyadl. 1973. Hal. 77.
[6] Dr. Shubhi Shaleh. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Alih bahasa. Cetakan III. 1992. Pustaka Firdaus. Jakarta. Hal. 201.
[7] Al-Zarqani. Op.cit. Hal. 106.
[8] Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an.Cetakan VII. 1994. Mizan. Bandung. Hal. 89.
[9] Surah Al-Ahzab ayat 53.
[10] Al-Shabuni. Op.cit. Hal. 23.
[11] Dirangkum dari Al-Tibyan lisshabuni dan Mabahits lilqatthan dan al-Burhan lizzarkasyi.
[12] Quraish Shihab. Op.cit. Hal. 89 – 90




.           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan komentar anda untuk pengetahuan mereka.